Friday 29 March 2019

# Kisah
 
ZIARAH KE MASJID TUA KATANGKA 
DAN MAKAM SULTAN HASANUDDIN


Berziarah ke situs sejarah atau cagar budaya merupakan salah satu "ketertarikan" tersendiri bagi saya. Di mana saya bisa mempelajari dan mendapatkan hal-hal menarik, mendorong saya untuk lebih jauh menyimak cerita dibalik bangunan atau segala hal di tempat tersebut serta mengenal tokoh-tokoh yang melatarbelakangi "keberadaan" nya.

Di samping itu, atmosfer setiap cagar budaya semuanya memiliki keistimewaan, karakter khas, nuansa religius tersendiri dan aura spiritual yang unik. Melalui bangunan dan benda-benda di dalamnya, menjadi saksi perjalanan sejarah panjang pada masanya. Selalu tergelitik untuk menyelami lebih dalam.

Suatu siang menjelang sore yang cerah, usai menyelesaikan suatu keperluan, kami (Saya, suami dan anak kami Narayan) menuju sekolah anak kami -- Riri -- untuk menjemputnya. Melirik jam yang sudah memasuki waktu Shalat Ashar, kami singgah di Masjid Tua Katangka "Al Hilal" karena lokasinya berada sebelum sekolah Riri. Wah, suatu "kejutan" bagi saya...pikirku. Sebab sudah lama saya ingin mengunjungi masjid ini dan berziarah ke makam Sultan Hasanuddin yang berada tak jauh dari lokasi Masjid.

Usai menunaikan Shalat Ashar, saya berjalan mengitari lokasi Masjid bersama Narayan dan beberapa anak-anak di situ yang menawarkan mengantar kami berkeliling melihat-lihat sekitar.

Memasuki pekarangan Masjid, langsung nampak beberapa makam dan sisa dinding dari bangunan lampau yang masih berdiri. Terdapat pula beberapa makam dalam bangunan berbentuk "segitiga" bercat putih dan berpintu besi. Berjalan menyusuri sisi kanan pekarangan, akan terlihat areal pemakaman yang merupakan makam keluarga keturunan Raja Gowa. Areal ini masih bersambung hingga belakang lalu kiri masjid. Pada sisi kiri lokasi Masjid dari arah depan, terdapat gerbang masuk yang terdapat papan bertuliskan "Kompleks Makam Keluarga Keturunan Raja Gowa".

Dari pelataran Masjid memandang ke atas arah selatan, terlihat bendera merah putih berkibar dan atap mirip "kubah" berwarna emas, yang ternyata adalah bagian dari wilayah pemakaman Sultan Hasanuddin dan Raja-Raja Gowa. Wilayahnya berada sekitar beberapa puluh meter ke atas sehingga nampak jelas dari tempat saya berdiri. Untuk ke sana tentu menempuh jalan menanjak. Namun akses jalan yang layak untuk ke tempat itu sepertinya belum ada. Sayang sekali... kami harus memutar dengan kendaraan dari lokasi Masjid Al Hilal yang berada di Jalan Katangka, ke lokasi tersebut yang berada di Jalan Somba Opu (sekitar 1 kilometer).

Tiba di sana, pandangan disambut oleh gerbang megah pintu masuk kompleks makam Sultan Hasanuddin. Setelah memasuki gerbang terdapat pelataran cukup luas dan selasar atau "pendopo". Mungkin sebagai tempat beristirahat atau berteduh bagi pengunjung dari luar kota atau wisatawan. Sedangkan Kompleks pemakaman terletak pada sayap kiri selasar, dikelilingi pagar besi. Memasuki pintu pagar, terlihat berderet makam dalam "bangunan batu" tanpa cat dengan bentuk berundak. Rupanya itu merupakan makam Raja-Raja Gowa. Diantaranya adalah makam Sultan Hasanuddin, yang pada bagian atasnya terdapat pahatan gambar "Ayam Jantan" berwarna merah dan putih.

Terlihat pula suatu makam dalam "bangunan" bercat putih. Pada bagian depan di atas pintu masuk tertulis,"Sombangta I Tadji Barani Daeng Marompa Karaeng Data Tuni Batta", Raja Gowa XI. Beliau gugur di Medan Bakti dalam suatu pertempuran, setelah 20 hari penobatan sebagai Raja Gowa.

Kompleks pemakaman ini memang baru saja mengalami pemugaran sehingga semakin kelihatan sejuk dan indah walau nampaknya proses pemugaran masih berlangsung. Bagian belakang di luar pagar pemakaman terdapat taman dan beberapa gazebo, juga konstruksi besi yang di dalamnya dibangun semacam tugu berbentuk pedang tinggi menjulang. Pada dinding belakang bertuliskan "AREA SEJARAH KARAENG TA".

Dari pelataran belakang pemakaman ini saya bisa melihat bagian belakang Masjid Tua Katangka beserta "Kompleks Makam Keluarga Keturunan Raja Gowa" yang tadi kami kunjungi. Sejauh mata memandang terpampang panorama selatan kota Makassar. Semilir angin sore menemani keriangan Riri dan Narayan yang saling berkejaran. Mereka memang sering menemani saya dan sangat menikmati setiap kunjungan ke berbagai cagar budaya.

Cahaya matahari meredup, menandakan senja yang semakin bergulir. Kami pun beranjak pulang membawa cerita sore sebagai bagian dari menapak tilas sejarah Kerajaan Gowa. Kediaman kami tak terlalu jauh dari sini, sekitar lima kilometer. Tak begitu jauh dari pemukiman kami pula terdapat jejak sejarah Kerajaan Gowa lainnya yaitu "Benteng Somba Opu".

########

Sultan Hasanuddin lahir di Gowa (Sulawesi Selatan), tanggal 12 Januari 1631. Wafat di Gowa, 12 Juni 1670 pada usia 39 tahun. Sultan Hasanuddin adalah Raja Gowa ke-16 dan pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama "Muhammad Bakir I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape" sebagai nama pemberian dari Qadi Islam Kesultanan Gowa yakni Syekh Sayyid Jalaludin bin Ahmad Bafaqih Al-Aidid, seorang mursyid tarekat Baharunnur Baalwy Sulawesi Selatan yang juga adalah gurunya, termasuk guru tarekat dari Syeikh Yusuf Al-Makassari. Setelah menaiki Tahta, Ia digelar "Sultan Hasanuddin" dan setelah wafat diberi gelar "Tumenanga Ri Balla Pangkana". Karena keberaniannya, Ia dijuluki "De Haantjes van Het Osten" oleh Belanda yang artinya "Ayam Jantan dari Timur". Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden No. 087/TK/1973, tanggal 6 November 1973. (Sultan Hasanuddin, wikipedia)

Sultan Hasanuddin, merupakan putera dari Raja Gowa ke-15, I Manuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiyung Sultan Muhammad Said. Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowamulai tahun 1653 sampai 1669. Kerajaan Gowa adalah merupakan kerajaan besar di Wilayah Timur Indonesia yang menguasai jalur perdagangan. (Sultan Hasanuddin, wikipedia).


Mila Nurhayati
Foto-foto : Mila.N
Makassar 29 Maret 2019

























































Thursday 21 March 2019

# Kisah

PERCIKAN KEARIFAN LOKAL DARI JAZIRAH MANDAR



Coretan jejak seorang anak yang tengah beranjak remaja saat itu, di suatu dusun bernama Batulaya, terletak di Jazirah Mandar (Sulawesi Barat). Tumbuh dari keluarga dengan nuansa religius yang kental. Ba'du, demikian Ia disapa. Ia kerap menemani Sang Kakek ke berbagai acara tradisional maupun keagamaan. Beragam pertanyaan sering Ia lontarkan kepada Sang Kakek untuk memenuhi rasa keingintahuannya yang besar terhadap kehidupan.

Seperti pada suatu kesempatan yang amat Ia kenang, kala bercengkerama dengan Sang Kakek yang Ia panggil "Pua Rippung" itu, Ba'du kembali menghujani beliau dengan pertanyaan-pertanyaan. Diantara pertanyaan itu :
"Bagaimana seseorang itu mencintai dan dicintai?"
"Bagaimana cara agar memiliki keberanian?"
"Bagaimana cara mendapatkan rezeki?" dan sebagainya.
Kali ini Sang Kakek tidak menjawabnya.

Kemudian Pua Rippung berujar kepada Ba'du : "Ilmu untuk itu tidak ada... kecuali saya pesankan lima hal. Pesan ini bukan sembarang pesan. Pesan ini mengatasi semua ilmu dan inilah hakikat hidup yang sesungguhnya.

"E...Appo, dian lima passalan naupasanganoo matin. Da mupogaui appe pappogauan, anna pogaui mesa tokko gau. Iyamo :
dao melo disanga,
da to'o menggau losong,
da to'o merau akkeimangan,
anna da to'o mappogau gau iya namassussai tau laen.
Anna pappogauo panggauaniya malamasurun mappessannangngi atuotuoammu siola todialawemu anna makkasiwiang lao di Puang Allata'ala anna menggau mapia laodiparammu rupa tau."

(Artinya : Wahai cucuku, kupesankan padamu lima hal. Empat hal jangan kamu lakukan dan satu kamu harus melakukannya.
pertama : jangan kamu sombong,
kedua : jangan kamu berbuat kebohongan,
ketiga : jangan kamu meminta jabatan,
keempat : jangan kamu melakukan sesuatu yang merusak orang lain,
dan kelima : lakukan sesuatu yang dapat kamu nikmati dalam hidupmu bersama keluargamu dengan menyembah kepada Allah SWT dan berbuat baik kepada sesama manusia.)

*************************
Penulis : Mila Nurhayati

Sumber dan disadur dari :
"Sketsa Sebuah Kehidupan Anak Dusun", Autobiografi Abdul Rahman Halim.

Foto : Masjid Nurut Taubah-Imam Lapeo, Campalagian, Polewali-Mandar (Mei 2018)/Mila.N

Repost dari FB Mila Nurhayati, 20 Maret 2019.

#Refleksi 

CORETAN PENA SEORANG ISTRI DAN IBU




Bila seorang Ibu ceria, seisi rumah menjadi ceria
Bila seorang Ibu bahagia, seisi rumah menjadi bahagia

Kata orang...
Dibalik suami hebat, ada istri yang luar biasa
Dibalik anak hebat, ada Ibu yang luar biasa

Dibalik suami sholeh, ada istri sholehah
Di balik anak sholeh/sholehah, ada Ibu yang sholehah

Orang Bijak berkata...
"Ruh" suatu rumah ada pada Istri/Ibu

Bila seorang Ibu tertekan, bisa memengaruhi seisi rumah
Bila seorang Ibu merasa tidak nyaman, dapat dirasakan oleh penghuni rumah
Yang bisa pula memengaruhi suasana hati setiap penghuninya ketika beraktifitas di luar, juga dalam berkarya dan berprestasi.

Menyandang gelar seorang "Ibu" atau "Istri" harus diterima dengan senang hati, penuh suka cita, dan menjalaninya dengan riang gembira agar menularkan kedamaian ke segenap penjuru rumah.

Memang bukan perkara mudah, di tengah serbuan "perkara" lain yang hadir silih-berganti, selain harus menyelesaikan berbagai tugas dan tanggung jawab, bertahan dalam beragam situasi yang kadang "menguras" energi, serta berbagai situasi lainnya. Masih dituntut untuk tetap ceria? Tetap sejuk kala dilanda "kegerahan"?

Seorang Istri atau Ibu juga dituntut tegar, kuat dan tangguh dalam setiap kondisi yang dihadapinya. Di saat yang bersamaan, Ia harus dituntut untuk memiliki kesabaran yang luas, kasih sayang tanpa batas dalam mendidik dan membesarkan anak-anak, sebagai pendamping suami, pun sebagai anak bagi orang tuanya, juga peran dalam kekerabatan dan masyarakat.

Wahai para Suami, bahagiakan Istrimu...
Beri perhatian, pahami, dan jadikanlah sebagai partner yang baik dalam bekerja sama membangun Istanamu.
Perlakukanlah Ia sebagai "Ratu"
Maka engkau akan diperlakukannya sebagai "Raja"

Wahai para Suami, setialah pada Istrimu...
Istri yang telah bersedia dan mengikhlaskan diri serta hatinya untuk menjadi pendampingmu
Setia menemanimu kala senang dan kesulitan
Menerimamu dalam keadaan apa pun

Godaan bagi seorang suami maupun seorang istri mungkin akan dijumpai
Namun jika memperturutkan hawa nafsu, tak akan pernah ada akhirnya
Selalu ada alasan, selalu ada celah
Bila iman telah terkikis, segalanya melemah
Kesetiaan, komitmen, akhlaq, moral, nilai yang dianut perlahan luntur bahkan menghilang...

Seorang Suami yang berakhlaq mulia mengantarkan Istri dan anak-anaknya kepada kesholehan.
Seorang Suami yang penuh kasih sayang, mengantarkan keteduhan bagi keluarganya
Demikian pula,
Seorang Istri dan Ibu yang tenang hatinya mengantarkan ketenangan hati dan kesuksesan bagi Suami dan anak-anaknya

Perjalanan hidup di alam fana ini tidaklah lama...
Setiap insan telah dititipkanNya "peran" untuk dijalani
Laki-laki dan perempuan hanyalah "sebutan" saja
Setiap manusia akan mempertanggungjawabkan perannya masing-masing
Toh, di mata Allah semua sama
Yang membedakan adalah ketaqwaan
Dan pada tingkatan "maqam" mana Ia berada.




Mila Nurhayati
22 Maret 2019


Thursday 7 March 2019

#Kisah

HARAP


Tanpa terasa waktu bergulir... detak jam yang tak mungkin bisa dihentikan mengantarkan kepada pergantian hari demi hari. Tak ayal menitikkan sedikit kegelisahan akan terwujudnya suatu impian.

Apakah niatku ini dapat terwujud? Niat akan menjalani suatu perjalanan, berziarah ke tempat yang telah lama ada dalam ruang harapan. Kekuatan tarik-menarik telah kurasakan sejak dulu. Saya ingin ke sana. Meskipun tak tahu mengapa. Mengapa?
Yah, saya pun tak terlalu paham saat itu.

Namun perjalanan waktu perlahan membuka sedikit demi sedikit tabir yang dulu sama sekali tak kupahami. Satu per satu pesan terurai... Membuatku terkesima. Sepanjang inikah jalan yang kutempuh untuk membuat tabir itu sedikit demi sedikit membuka? Berapa hari, bulan, tahun...? Ternyata seumur hidupku ini, puluhan tahun!

Suatu kesempatan kupikir merupakan pintu pembuka ke sana. Melalui pesan Ayahanda kepadaku. Tak ada sesuatu pun di dunia ini yang kebetulan. Sehelai daun pun jatuh ke bumi karena perintah dariNya. Menuntutku merentangkan harapan kembali. Mengadakan perjalanan!

Perjalanan yang jika dipikir secara matematis...entahlah! Sanggupkah?
Namun saya yang seperti biasa berharap akan "kebaikan selalu menghampiri dari niat yang baik", merasa sanggup menapaki semuanya. Walau yang "tak masuk akal" sekali pun. Seperti kejadian sebelum-sebelumnya.
Dan..beberapa sudah terlaksana, terwujud, meski harus menunggu sekian tahun.

Juga kali ini.
Bukankah bagi Allah segala hal bisa saja terjadi?
Apa yang tidak mungkin bagiNya?
Seluruh semesta adalah milikNya.
Apa sulitnya untuk mengantarkan seorang hambaNya kepada suatu tempat?

Suatu tempat... diantara tempat-tempat lainnya yang menjadi harapan bagiku. Harapan untuk tiba di sana. Seolah ingin membuktikan kebesaranMu, yang sebenarnya tak perlu lagi pembuktian itu.
Kuingin sampai di tempat-tempat itu. Walau bagi sebagian orang, saya hanya mengukir angan, merajut mimpi, dan belum terbangun dari tidur panjang.

Namun tak pernah surut keyakinan untuk membuat itu semua menjadi kenyataan. Saya yakin, semua hanya masalah waktu, masa. Semua ada masanya.
Masa yang hanya Ia yang tahu. Namun yang kutahu, Ia selalu mengabulkan do'a hambaNya. Selalu ada hadiah yang Ia berikan kepada setiap makhluknya sepanjang kehidupannya.

Hadiah yang akan diterima jika sang penerima telah "pantas" memperolehnya. Kadang hadiah itu diantar dengan penantian yang tak terduga waktunya
Kadang hadiah itu diberi bersamaan letih jiwa raga mencapainya
Kadang hadiah itu dibungkus oleh kertas cantik yang untuk membukanya membutuhkan kebeningan hati agar tak merusak yang ada di dalamnya
Kadang hadiah itu berbungkus sesuatu yang tak pernah disangka sebelumnya..begitu perih, sehingga hampir membuat berpaling dari harapan akan sesuatu yang lebih besar menanti setelahnya.

Apapun itu, harap ini tetap kusimpan...
menunggu keajaiban itu menyapa.

Makassar, 8 Maret 2019




Lokasi : dalam perjalanan kereta api dari Jakarta menuju Bandung, 2017.


#Kisah

DI MANAKAH BAHAGIA ITU?

Membuka jendela kamar, udara pagi yang dingin dan bersih menerpa memenuhi ruang. Seketika kesejukan mengalir ke seluruh rongga tubuh...

Melihat pemandangan seperti ini dari balik jendela, atau sembari duduk di teras menikmati secangkir teh hangat, bersama buku favorit dan alunan musik lembut...sungguh, "Nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?"

Di sini ada beberapa pohon yang daunnya bisa langsung dijadikan teh. Ia menciptakan sesuatu selalu memiliki manfaat, manusialah yang harus menemukan dan mengkaji manfaat apa yang Ia titipkan di dalamnya.

Beberapa pohon yang menjadi penghuni halaman ini "mengikhlaskan dirinya" untuk dipetik langsung sebagai bahan teh atau ramuan herbal, seperti : daun murbei, daun Afrika Selatan, daun salam, daun kelor, daun bidara, Rosemary dan daun Tin. Sekali lagi, "Nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?"

Disekitar keberadaan suatu makhluk sebenarnya selalu bersama ayat-ayat dariNya yang Ia sediakan untuk mencukupi kebutuhan, meriangkan hati dan membahagiakan.

Kata orang...
"Bahagia itu sederhana."
"Hidup itu sederhana."
"Tak ada yang namanya masalah, semua bisa disederhanakan."
Benarkah?

Kadang bilang bahagia itu sederhana... tapi ketika suatu keinginan saja belum terwujud, atau ketika uang di kantong menipis, semua buyar... di mana bahagia itu?
Hilang?

Ketika masalah datang...hati gelisah, pikiran jadi ruwet, emosi memuncak. Ke mana hidup yang sederhana itu?
Lenyap?

Yang sederhana itu penyikapannya. Pemikiran, perenungan dan reaksi terhadap suatu realita. Sebagai pesan dariNya. Cinta kasihNya.
Sederhana yang lahir dari keheningan hati akan jawaban,
"Kehidupan ini dari mana dan akan ke mana?"

Lamat terdengar alunan syair Dewa 19...

".....Hadapi dengan senyuman
Semua yang terjadi biar terjadi
Hadapi dengan tenang jiwa
Semua 'kan baik-baik saja

Bila ketetapan Tuhan
Sudah ditetapkan
Tetaplah sudah
Tak ada yang bisa merubah
Dan takkan bisa berubah

Relakanlah saja ini
Bahwa semua yang terbaik
Terbaik untuk kita semua
Menyerahlah untuk menang........"

*Catatan pagiku yang masih berbenah dan belajar.

Repost dari FB Mila Nurhayati
Tanggal 8 Maret 2019



#Kisah

LUKA

Jadi, inikah realita itu? Sungguh sesuatu yang tak disangka, tak terduga, tak terbayangkan sebelumnya. Bahkan terlintas sekalipun. Sungguh..!

Kuhanyut dirangkul keterkejutan. Bukan hanya terkejut, namun menderaku dalam ketidakpercayaan dan ketakjuban tak berkesudahan.

Kudesak diriku untuk bangkitkan kesadaran yang selama ini hampir-hampir terabaikan. Wujud diri sendiripun seolah tak kuanggap keberadaannya. Sekejam itukah aku pada diriku sendiri?

"Hei, mengapa masih bertanya? Padahal pertanyaan itu telah berulangkali kau ucap, kau tanyakan nyaris seumur tahun yang kau habiskan untuk bernafas di bumi ini. Kau aniaya dirimu sendiri dengan penyesalan yang kau cari sendiri, luka yang kau biarkan basah dan perih, hingga menginfeksi sisi-sisi relung...sampai-sampai kau sendiri tak menemukan penyembuhnya? Sungguh, kau tak patut membiarkan itu. Luka yang harusnya tak memakan waktu lama untuk menyembuhkan dirinya, mestinya telah mengering dan tak berbekas."

Serentetan petuah itu, ia hampir selalu tahu apa yg kupikirkan.

Aku hanya menunduk mendengar segala ucapannya. Penggalan-penggalan cerita hilir-mudik hadir.
Ah, entahlah!
Mengapa aku tak memahami semua ini? Aku tak berdaya berdiri menatap angkasa, berteriak sekuatnya menanyakan : "Mengapa, Tuhan...???"
Tak pantas kumenanyakan takdirNya, rahasiaNya. Suratan itu toh telah tertulis dengan tintaNya. Aku hanyalah hamba yang tak mengerti. Layaknya bayi mungil dengan wajah lucu tanpa dosa yang hanya mampu memandang sekitarnya dengan keluguan dan kenaifan.

"Tidak, sekarang itu bukan rahasia lagi. Kau akan tahu semuanya." Suaranya terdengar kembali. Aku mengangkat wajah.

Kemudian hari-hari setelahnya, aku mencari obat penawar luka itu. Luka yang telah menjadi infeksi meluas... Mencari dari negeri ke negeri, berjalan...berjalan...tak kuhitung lagi bulan-bulan dan tahun-tahun yang terlewati. Seolah kaki ini tak mau berhenti melangkah. Lelah menyergap, aku letih.

Kesadaranku perlahan menyusup masuk, dalam...semakin dalam...
Kubuka mata perlahan. Kulihat luka itu kembali, luka yang kini telah hampir tak berbekas. Inikah keajaibanMu Tuhan? Bertahun-tahun kuhabiskan usia menanti kesembuhan yang rasa-rasanya cukup membuat daya tahan tubuh ini terkuras. Kini nyaris sirna tak teraba indera.

"Benar," sahutnya. Ia telah hadir dihadapanku lagi.
Sejak kapan Ia ada di sini? Hanya kujawab dengan senyum.
"Sudah hampir sembuh," lanjutnya. "Suatu saat akan hilang...sirna. Kau tahu?"
Sepi menyeruak. Dalam hening kupahami perkataannya.
"Ya, aku tahu." suaraku lirih.
"Dengar, tahukah kamu? Luka yang tak kausangka dapat sembuh kini sebentar lagi tak berbekas sedikit pun?" Diam..
"Apakah kau sadar jika ini cuma secuil saja dari karuniaNya, yang tak kau sangka kehadirannya?" ujarnya menerawang mirip seorang Kakek yang mendongeng kepada cucunya.
"Hidup ini berisi perenungan panjang, ketegaran dan kekuatan harus kau miliki agar tak larut dalam luka. Akan selalu ada luka, ada airmata, bahkan darah. Dan kamu tak perlu khawatir dengan semua itu. Tetaplah beramal sholih dalam bingkai Rahman RahimNya." Ia terdiam, menoleh padaku. "Saya yakin kamu siap untuk itu."

Termangu, memandang awan tipis yg perlahan berarak...semakin memperlihatkan cerahnya langit biru bersih. Angin sejuk menerpa tubuhku, seolah hendak memberiku kekuatan serta membisikkan kata, "Tersenyumlah, bahagialah."
"Pasti." jawabku dalam bisikan pula.

by MILA.NZ
*Penggalan kisah
Repost dari FB Mila Nurhayati tanggal 6 Maret 2016


Tuesday 19 February 2019

#Refleksi

TIPUAN


Sungguh sebenarnya hidup itu dipenuhi pilihan-pilihan. Saat bangun tidur saja kita sudah dihadapkan pilihan : melakukan apa? Lalu serangkaian "ritual" bangun tidur telah menanti...apa yang mau dilakukan setelah membuka mata : berdo'a dan seterusnya? Melompat dari tempat tidur? Cek HP? Apa lagi? Begitu banyaknya pilihan-pilihan itu. Pilihan yang penentuannya sangat didasari oleh banyak hal, diantaranya : tujuan hidup. 

Mengapa tujuan hidup? Karena segala yang dilakukan dalam hidup ini, keputusan-keputusan yang diambil, penentuan pilihan, semua berdasarkan pemaknaan individu tersebut terhadap tujuan hidupnya. Lantas, apa tujuan hidupmu? Seperti apa ilustrasi tujuan itu dalam pikiranmu selama ini? 

Sudahkah penelurusan itu tiba pada pertanyaan besar : 
"Engkau dari mana, dan akan ke mana?"
"Kamu sebenarnya siapa?"
"Unsur apa saja yang ada dalam dirimu?"
"Siapa saja yang mendiami dirimu?"
"Sudah kenalkah kamu kepada yang ada dalam dirimu?"

Apa jawabmu...?
Sampai pada bilangan usia ini, sudahkah Engkau menemukan jawabannya?
Jika belum, Di manakah jawaban itu dapat diperoleh?
Jangan sampai usia telah tiba namun jawaban itu belum juga ditemukan.
Baiklah ini sekedar pengingat bagi saya.

Kembali pada pilihan-pilihan... begitu rumitnyakah menentukan pilihan itu? Sehingga begitu banyak yang terombang-ambing oleh berbagai realitas tak menentu disuguhkan oleh tipuan kefanaan dunia yang memang salah satu tugasnya "mengelabui" manusia? Sejak zaman manusia pertama kali diciptakan, begitu pula serbuan pilihan itu demikian kejamnya hingga membuat siapa saja bisa terpedaya. Seringkali membuat terlena... Padahal banyak diantaranya hanyalah tipuan.

Allah SWT berfirman, “Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan di antara kalian, serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak. Seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu mengering dan kamu lihat warnanya menguning lalu hancur. Dan, di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadiid [57] : 20)

Tuntunlah langkah kaki kami, detak jantung kami, setiap pilihan yang kami tempuh, setiap keputusan yang ditetapkan...senantiasa dalam genggamanMu, arahanMu, kasih sayangMu, RidhaMu, tercurahkan kepada kami..

"Yaa ayyatuhan nafsul muthma-innah. Irji’ii ilaa robbiki roodhiyatam mardhiyyah. Fadhulii fii ‘ibaadii. Wadhulii jannatii.

Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku." (QS al-Fajr [89]: 27-30).





Pict taken by : Akilrah, edited by : Milan.
Lokasi : Pantai Seminyak, Bali. Tahun 2011.
Makassar, 19 Februari 2019.

Monday 18 February 2019

#Refleksi

Teman Berjalan

Hidup layaknya panggung sandiwara. Dari sandiwara  yang satu, ke sandiwara yang lain. Dari alur yang satu, ke alur lainnya. Dari skenario satu, berlanjut ke skenario berikutnya. Kadang menjadi bagian dari tokoh-tokoh pemain, pemeran utama ataukah figuran hingga hanya numpang lewat, terkadang berada diantara serombongan penonton atau sekadar turut meramaikan tanpa tujuan jelas. Tak jarang mendapatkan decak kagum dan riuh apresiasi, tak jarang pula hanya memberikan tepukan tangan dari lakon yang dipersembahkan.

Hidup tak ubahnya perjalanan dari satu pohon sebagai tempat beristirahat ke pohon lainnya. Berjalan menyusuri setapak demi setapak. Kadang jalan itu lurus, kadang berkelok serta terjal. Terkadang jalan itu lapang dan mulus, tak jarang sempit dan penuh bebatuan. Kala jenuh atau lelah melanda, berhenti sejenak pada suatu pohon yang teduh sekedar mengurai kepenatan serta mengumpulkan tenaga untuk melanjutkan perjalanan kembali.

“Ada kecintaan apa aku dengan dunia? Aku di dunia ini tak lain, kecuali seperti seorang pengendara yang mencari teteduhan di bawah pohon untuk beristirahat sejenak, lalu meninggalkannya.” (HR. At-Tirmidzi No. 2377) 

Perjalanan yang entah hingga kapan berakhir. Perjalanan yang harus ditempuh sepanjang waktu namun bukan untuk pergi, melainkan untuk pulang. Pulang ke tempat di mana setiap kehidupan berasal. Pulang menemui yang mencintaimu, yang mengasihimu, pemilik jiwa.

Rasulullah SAW bersabda, “Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau bahkan seperti orang yang sekedar lewat (musafir).” (HR. Al-Bukhari No. 6416)

Masing-masing makhluk memiliki lintasannya sendiri, jalannya sendiri, tak ada satu pun berada pada garis yang sama. Dengan pemandangan yang hanya Ia sendiri yang bisa merasakannya, melihatnya, memetik buahnya agar menjadikannya bekal dalam perjalanan berikutnya. Bekal  bisa saja selalu tersedia untuknya, namun tak menutup kemungkinan membutuhkan sekian lama bahkan tak kunjung ditemui. Apakah menemukan air jernih nan sejuk serta aneka buah-buahan yang manis dan segar? Ataukah sebaliknya? Atau tidak menemukan sama sekali? 

Ada yang senantiasa menemukan bekal dalam perjalannya, ada yang hanya sedikit saja bahkan kegersangan senantiasa melanda sepanjang lintasan yang dilalui. Tanpa air, tanpa buah-buahan, tanpa kawan-kawan penghuni semesta yang menemani.

Mereka ada di mana saja...mereka bisa berupa apa saja...mereka bisa datang dari mana saja...tak terbatas ruang dan waktu...tak terlintas dalam benakmu sebelumnya. Mereka selalu menemani, senantiasa hadir tanpa engkau memintanya, mereka senang mendekatimu, tanpa memohon sekalipun mereka siap membantumu.

Mereka merupakan amalan, kerjernihan qalb, keteguhan yang selama ini engkau genggam dalam menerima segala ketentuanNya, penerimaan tanpa mempertanyakan lagi betapa pedih dan perih masa demi masa saat berjalan menelusuri lintasanNya. Mereka hadir tanpa diminta...karena cahayamu yang membuat mereka menemukanmu.

Orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal salih benar-benar akan Kami masukkan ke dalam (golongan) orang-orang yang salih (QS al-Ankabut [29]: 9). 





Foto : Milan
Lokasi : RS. Unhas, Makassar. Januari 2019
Makassar 19 Februari 2019.

Tuesday 29 January 2019

#Kisah

IZINKAN SAYA...


Hari ini, di sini, merasakan kembali suatu "kehidupan" di mana banyak orang-orang sakit berada. Di suatu tempat yang bernama "Rumah Sakit". Tempat seperti ini mungkin terkesan biasa saja bagi sebagian orang. Namun tidak bagi saya.

Saat memasuki suatu rumah sakit, langsung terasa atmosfer yang berbeda. Ya, tentulah setiap tempat memiliki atmosfernya masing-masing. Di sini, berbagai pemandangan yang tak biasa ditemui, bisa saya saksikan. Keadaan para pasien dengan berbagai kondisinya. Ada yang sakit biasa saja, sakit yang lebih berat, pasien yang datang dengan status "emergency" karena berbagai sebab, pasien yang dalam keadaan sekarat, hingga tangisan-tangisan keluarga pasien yang baru saja kehilangan anggota keluarganya. Sungguh suasana ini kadang membuatku merinding. Saya dapat merasakan sentuhan energinya. Getaran sedih, pilu, menyayat hati. Saat-saat akan pulang itu tiba, pulang keharibaanNya. Memandangi sosok yang tadinya bernafas dan bernyawa itu kini telah diam tak bergerak, ia lepas...pulang kepada Sang Pemilik ruh. Pemandangan seperti ini tak jarang menyentakku ketika berada pada suatu tempat yang bernama Rumah Sakit.

Setiap yang bernyawa pasti akan melaluinya. Setiap amanah pasti kembali kepada yang memberi amanah. Semua hanya titipan. Pun ruh ini, jiwa ini, jasad ini.

Saya bersyukur telah merasakan berbagai karunia yang telah diberikanNya kepadaku. Karunia berupa "sakit" fisik dan psikis. Walau saya kurang sepakat dengan istilah "sakit" itu sendiri. Bagi saya, apa pun yang terjadi dalam hidup semua adalah hidanganMu yang harus diterima dan dinikmati dengan sepenuh hati, dengan keikhlasan tiada tara. Pantaskah sebagai makhluk ciptaan Allah untuk tidak menyukai bahkan benci atas ketetapanNya? Pantaskah sebagai makhluk, menolak takdir?

Saat terdiam, menatap kembali perjalanan yang telah kulalui selama ini, tak ada yang saya sesali bahkan tangisi. Tak seperti waktu-waktu yang telah lalu. Ketika berbagai ujian hidup membuat hati ini sempat kehilangan arah. Perih, pedih dan pahitnya serasa tak sanggup lagi dipikul. Hingga terselip ratapan, penyesalan, kesedihan tak berkesudahan. Namun Engkau sungguh Maha Pengasih...Engkau rangkul diriku dalam kepasrahan munajat yang tak pernah putus kupersembahkan untukMu. Munajat dari seorang hamba yang masih banyak kekurangan, masih sangat jauh dariMu, masih mudah terkesima oleh kilauan pesona duniawi yang semu, masih mengejar Ilusi yang entah kan bermuara ke mana. Padahal Engkau selalu ada untukKu, Engkau salalu mengiringi ke manapun hambaMu ini melangkahkan kaki, di setiap tarikan nafas dan detak jantungku.

AnugerahMu sangat besar untukku, bahkan banyak hadiah yang Engkau berikan untuk yang tak semua hambaMu miliki. Jika saya ceritakan kepada orang lain pun mereka sangat sulit untuk percaya. Apakah masih pantas saya mengeluh? Masih pantas mempertanyakan ujian yang Engkau berikan?

Semua sudah menjadi sejarah hidup yang bagaimana pun akan  kukenang sebagai pengalaman batin yang tak ternilai. Semua telah berlalu. Jika dulu saya pernah merasa sakit fisik maupun psikis, izinkan saya kini mendampingi siapa pun yang membutuhkan, menjadi perantara uluran tanganMu kepada hamba-hambaMu, mendampingi, menemani, membantu orang-orang terkasih, siapa pun...kuingin menjadi manfaat dan kebahagiaan bagi sesama. Sehatkan saya selalu Rabb......
Bersama menemani Bapak, di sini..

Dan sungguh akan Kami berikan ujian atau cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang bersabar. (Q.S Al-Baqarah: 155)

"Robbana afrigh 'alaina shobron watawaffana muslimin.
Ya Tuhan kami, limpahkan kesabaran kepada kami dan wafatkan kami dalam keadaan berserah diri kepadaMu." (Q.S. [7] : Al A'rof : 126)





Pict : Milan
Lokasi : Rammang -Rammang, Maros. 1 Januari 2018

Rumah Sakit UNHAS
Makassar, 30 Januari 2019


Saturday 19 January 2019

#Refleksi
 SMS



Pada suatu siang saya ke warung campuran yang berada tak jauh dari rumahku untuk mencari suatu keperluan. Begitu melihatku, Bi Surti menyambut dengan senyum, "Baru kelihatan lagi nih Mama Difa?" sapanya sembari membenahi dagangan di warungnya yang tak seberapa luas. Warung sekaligus tempat tinggalnya dengan bangunan yang belum permanen, nampak didominasi kayu dan seng, yang bila siang hari akan terasa panas menyengat kulit. "Iya bi Surti...sudah cukup lama ya saya ga ke mari." jawabku. Kami sudah cukup akrab, usianya pun tak jauh beda denganku. Seorang ibu yang tangguh dengan bekal pendidikan yang tak tamat Sekolah Dasar.

Mataku seketika singgah ke suatu benda baru di situ... sebuah lemari freezer (untuk es batu dan beragam es lainnya). "Wah freezer baru ya bi Surti? Alhamdulillaah, jadi bisa muat banyak es dan bikin es batu yang banyak," celetuk saya, merasa senang juga melihat kemajuan warung bu Surti. Bi Surti tertawa..."Ah, ini freezer bekas saja kok...mumpung orangnya menjual dengan harga yang lumayan murah." Saya manggut-manggut, "Jadi sekarang makin lengkap dong jenis es yang dijual, jadi makin banyak pelanggan." selorohku.
"Hahaha....Alhamdulillaah... yah, tapiii... ada yang lucu." Katanya sembari tertawa.
"Lho, lucu bagaimana?" ujarku bingung
"Itu...saya yang beli freezer, warung sebelah yang 'kedinginan'." sahutnya tersenyum penuh arti.
"Hahaha...ah masa sih bi Surti..?? Kok ga sekalian saja itu orang dimasukin freezer biar beku! Eehhh...maksudnya, do'akan saja biar warungnya laris juga dan hatinya selalu lapang."

Ungkapan "Senang melihat orang susah atau susah melihat orang senang" atau biasa disingkat SMS,  tak bisa dipungkiri menjadi fenomena yang bisa ada di mana saja dan terjadi pada siapa saja. Tak jarang, orangnya sendiri pun tak menyadari bila ia dihinggapi salah satu "penyakit hati" ini. Penyakit hati bernama iri mudah terjangkit oleh siapa saja, yang penyebabnya sangat beragam. Iri bisa mencuat dari keinginan untuk memiliki apa yang orang lain miliki, namun ia tak sanggup untuk mencapainya sehingga menimbulkan kecemburuan. Bila kecemburuan ini tak terbendung lagi, muncullah sikap seperti memusuhi orang yang dicemburui, menjatuhkan, merebut apa yang orang itu miliki.

Ada yang menyamakan istilah "iri" dan "dengki", ada pula yang mengatakan seseorang disebut "dengki" bila ada action untuk merebut apa yang dimiliki oleh orang lain yang ia tidak suka jika orang itu memilikinya. Bila masih berupa perasaan atau sikap, belum dikatakan sebagai dengki. 

Parrott, W. G., & Smith, R. H dalam Wikipedia mendefinisikan Iri hati (bahasa Inggris: envy, bahasa Latin: invidia), terkadang disebut juga dengki atau hasad, adalah suatu emosi yang timbul ketika seseorang yang tidak memiliki suatu keunggulan—baik prestasi, kekuasaan, atau lainnya—menginginkan yang tidak dimilikinya itu, atau mengharapkan orang lain yang memilikinya agar kehilangannya.

Hanya satu cara agar penyakit hati satu ini tak hinggap mengotori batin, yaitu selalu bersyukur. Kelihatannya mudah? Tentu tidak, tidak mudah! Rasa syukur tak mudah begitu saja diucapkan, apalagi diwujudkan. Syukur itu suatu tahapan tangga tinggi yang dicapai dengan penuh perjuangan dan pengalaman batin yang mumpuni. Jadi bagaimana? Apa mungkin mencapai syukur itu? Sangat mungkin! Namun sekali lagi, tak ada sesuatu yang luar biasa dicapai dengan cara "biasa-biasa" saja. Selalu berusaha meredam keinginan besar di luar kesanggupan, itu sudah sebuah langkah awal. Bukan berarti tak boleh mempunyai harapan atau cita-cita. Namun disertai usaha, do'a, realistis menerima keadaan, lebih banyak bersabar dan bersabar...."

"Dan janganlah kau iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi para wanita pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah mengetahui segala sesuatu. (Q.S. An Nisaa' : 32)


Mila Zees
Foto : Milan/Maret 2018.

Makassar, 20 Januari 2019.


Monday 14 January 2019

Pesawat Pembom Super TU-16

Bapak sering menceritakan pengalamannya mengenai banyak hal terutama masa mudanya, seperti saat menjadi awak pesawat TU-16. Ketika mendengar cerita Bapak, saya membayangkan dan merasakan bagaimana suasana saat itu. Masa-masa mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia dari serangan negara-negara sekutu. Dan Bapak menjadi bagian dari sejarah itu. Sungguh saya merasa kagum, terharu, bangga, bahagia, bercampur menjadi satu.

Artikel di bawah ini bersumber dari http://tni-au.mil.id. Saya menyimpannya di sini sebagai bagian dari catatan sejarah Bapak kami, Letkol Adm. (Pur) Su'ud Tumenggung Zees, yang menjadi bagian dari cerita kehebatan pesawat pembom TU-16.

Bapak menjadi salah satu dari puluhan personil TNI-AU yang dikirim ke Chekoslovakia dan Rusia untuk mempersiapkan awak dalam mengoperasikan pesawat pembom strategis TU-16. Mereka dikenal dengan angkatan Cakra I, II, III, Ciptoning I dan Ciptoning II (seperti yang disebut dalam artikel ini).

Kini usia Bapak menginjak ke 79 tahun pada tahun 2019 ini. Walau sudah sepuh, Bapak masih mengingat jelas sebagian besar perjalanan hidup yang telah dilaluinya. Tersirat semangat juang, kebanggaan sebagai pengayom bangsa, sebagai seorang personil TNI-AU yang rela mengorbankan "jiwa raga" demi keutuhan bangsanya.

Kami anak-anaknya merasa bersyukur memiliki Bapak yang tangguh, berjiwa patriotisme, pemberani, disiplin, dan sangat loyal pada profesinya. 

"BANGSA YANG BESAR ADALAH BANGSA YANG TIDAK PERNAH MELUPAKAN SEJARAH BANGSANYA SENDIRI." 
(Bung Karno)




====================



        TU-16 Pesawat Pembom Super Yang                         Pernah Dimiliki Indonesia


Saat penerbangan terakhir pesawat TU-16
(Bapak paling kiri depan yang jongkok)


Satu-satunya pesawat TU-16 yang masih tersisa, di Museum Dirgantara, Yogyakarta.

Foto-foto : google



Bila predikat Angkatan Udara terkuat di Asia Tenggara kini di pegang oleh Singapura, maka di era tahun 60-an kekuatan angkatan udara negeri kita boleh dibilang menjadi “singa”, tak cuma di Asia Tenggara, bahkan di kawasan Asia TNI-AU kala itu sangat diperhitungkan. Bahkan Cina maupun Australia belum punya armada pembom strategis bermesin jet. Sampai awal tahun 60-an hanya Amerika yang memiliki pembom semacam(B-58 Hustler), Inggris (V bomber-nya, Vulcan, Victor, serta Valiant) dan Rusia.

Gelar “singa” tentu bukan tanpa alasan, di awal tahun 60-an TNI-AU sudah memiliki arsenal pembom tempur mutakhir (dimasanya-red) Tu-16, yang punya daya jelajah cukup jauh, dan mampu membawa muatan bom dalam jumlah besar. Pembelian Tu-16 AURI didasari, terbatasnya kemampuan B-25, embargo suku cadang dari Amerika, dan untuk memuaskan ambisi politik.

 “Tu-16 masih dalam pengembangan dan belum siap untuk dijual,” ucap Dubes Rusia untuk Indonesia Zhukov kepada Bung Karno (BK) suatu siang di penghujung tahun 50-an. Ini menandakan, pihak Rusia masih bimbang untuk meluluskan permintaan Indonesia membeli Tu-16. Tapi apa daya Rusia, AURI ngotot. BK terus menguber Zhukov tiap kali bersua. “Gimana nih, Tu-16-nya,” kira-kira begitu percakapan dua tokoh ini. Akhirnya, mungkin bosan dikuntit terus, Zhukov melaporkan juga keinginan BK kepada Menlu Rusia Mikoyan. Usut punya usut, kenapa BK begitu semangat? Ternyata, Letkol Salatun-lah pangkal masalahnya. “Saya ditugasi Pak Surya (KSAU Suryadarma-Red) menagih janji Bung Karno setiap ada kesempatan,” aku Marsda (Pur) RJ Salatun tertawa.

Ketika ide pembelian Tu-16 dikemukakan Salatun saat itu sekretaris Dewan Penerbangan/Sekretaris Gabungan Kepala-kepala Staf kepada Suryadarma tahun 1957, tidak seorangpun tahu. Maklum, TNI tengah sibuk menghadapi PRRI/Permesta. Namun dari pemberontakan itu pula, semua tersentak. AURI tidak punya pembom strategis B-25 yang dikerahkan menghadapi AUREV (AU Permesta), malah merepotkan. Karena daya jelajahnya terbatas, pangkalannya harus digeser, peralatan pendukungnya harus diboyong. Waktu dan tenaga tersita. Sungguh tidak efektif. Celaka lagi, Amerika meng-embargo suku cadangnya. Alhasil, gagasan memiliki Tu-16 semakin terbuka.

Salatun yang menemukan proyek Tu-16 dari majalah penerbangan asing tahun 1957, menyampaikannya kepada Suryadarma. “Dengan Tu-16, awak kita bisa terbang setelah sarapan pagi menuju sasaran terjauh sekalipun dan kembali sebelum makan siang,” jelasnya kepada KSAU. “Bagaimana pangkalannya,” tanya Pak Surya. “Kita akan pakai Kemayoran yang mampu menampung pesawat jet,” jawab Salatun. Seiring disetujuinya rencana pembelian Tu-16 ini, landas pacu Lanud Iswahyudi, Madiun, kemudian turut diperpanjang.

Proses pembeliannya memang tidak mulus. Sejak dikemukakan, baru terealisasi 1 Juli 1961, ketika Tu-16 pertama mendarat di Kemayoran. Ketika lobi pembeliannya tersekat dalam ketidakpastian, Cina pernah dilirik agar membantu menjinakkan “beruang merah”. Caranya, Cina diminta menalangi dulu pembeliannya. Namun usaha ini sia-sia, karena neraca perdagangan Cina-Rusia lagi terpuruk. Sebaliknya, “Malah Cina menawarkan Tu-4m Bull-nya,” tutur Salatun. Misi Salatun ke Cina sebenarnya mencari tambahan B-25 Mitchell dan P-51 Mustang. 

Jadi, pemilihan Tu-16 memperkuat AURI bukan semata alat diplomasi. Penyebab lain adalah embargo senjata Amerika. Padahal saat bersamaan, AURI sangat membutuhkan suku cadang B-25 dan P-51 untuk menghantam AUREV.

Tahun 1960, Salatun berangkat ke Moskow bersama delegasi pembelian senjata dipimpin Jenderal AH Nasution. Sampai kedatangannya, delegasi belum tahu, apakah Tu-16 sudah termasuk dalam daftar persenjataan yang disetujui Soviet. Perintah BK hanya, cari senjata. Apa yang terjadi. Tu-16 termasuk dalam daftar persenjataan yang ditawarkan Uni Soviet. Betapa kagetnya delegasi.

“Karena Tu-16 kami berikan kepada Indonesia, maka pesawat ini akan kami berikan juga kepada negara sahabat lain,” ujar Menlu Mikoyan. Mulai detik itu, Indonesia menjadi negara ke empat di dunia yang mengoperasikan pembom strategis selain Amerika, Inggris dan Rusia sendiri. Hebat lagi, AURI pernah mengusulkan untuk mengecat bagian bawah Tu-16 dengan Anti Radiation Paint cat khusus anti radiasi bagi pesawat pembom berkemampuan nuklir. “Gertak musuh saja, AURI kan tak punya bom nuklir,” tutur Salatun. Usul tersebut ditolak.

Segera AURI mempersiapkan awaknya. Puluhan kadet dikirim ke Chekoslovakia dan Rusia. Mereka dikenal dengan angkatan Cakra I, II, III, Ciptoning I dan Ciptoning II. Mulai tahun 1961, ke-24 Tu-16 mulai datang bergiliran diterbangkan awak Indonesia maupun Rusia. Pesawat pertama yang mendarat di Kemayoran dikemudikan oleh Komodor Udara (sekarang Marsda TNI Pur Cok Suroso Hurip). Mendapat perhatian terutama dari kalangan intel Amerika.

Kesempatan pertama intel-intel AS melihat Tu-16 dari dekat ini, memberikan kesempatan kepada mereka memperkirakan kapasitas tangki dan daya jelajahnya. Pengintaian terus dilakukan AS sampai saat Tu-16 dipindahkan ke Madiun. U-2 pun mereka libatkan. Wajar, di samping sebagai negara pertama yang mengoperasikan Tu-16 di luar Rusia, kala itu beraneka ragam pesawat blok Timur lainnya berjejer di Madiun.

Senjata Rudal kennel 
Kennel memang tidak pernah ditembakkan. Tapi ujicoba pernah dilakukan sekitar tahun 1964-1965. Kennel ditembakkan ke sebuah pulau karang di tengah laut, persisnya antara Bali dan Ujung Pandang. “Nama pulaunya Arakan,” aku Hendro Subroto, mantan wartawan TVRI. Dalam ujicoba, Hendro mengikuti dari sebuah C-130 Hercules bersama KSAU Omar Dhani. Usai peluncuran, Hercules mendarat di Denpasar. Dari Denpasar, dengan menumpang helikopter Mi-6, KSAU dan rombongan terbang ke Arakan melihat perkenaan. “Tepat di tengah, plat bajanya bolong,” jelas Hendro.

Diuber Javelin
Lebih tepat, di masa Dwikoralah awak Tu-16 merasakan ketangguhan Tu-16. Apa pasal? Ternyata, berkali-kali pesawat ini dikejar pesawat tempur Inggris. Rupanya, Inggris menyadap percakapan AURI di Lanud Polonia Medan dari Butterworth, Penang.

“Jadi mereka tahu kalau kita akan meluncur,” ujar Marsekal Muda (Pur) Syah Alam Damanik, penerbang Tu-16 yang sering mondar-mandir di selat Malaka.

Damanik menuturkan pengalamannya di kejar Javelin pada tahun 1964. Damanik terbang dengan ko-pilot Sartomo, navigator Gani dan Ketut dalam misi kampanye Dwikora.

Pesawat diarahkan ke Kuala Lumpur, atas saran Gani. Tidak lama kemudian, dua mil dari pantai, Penang (Butterworth) sudah terlihat. Mendadak, salah seorang awak melaporkan bahwa dua pesawat Inggris take off dari Penang. Damanik tahu apa yang harus dilakukan. Dia berbelok menghindar. “Celaka, begitu belok, nggak tahunya mereka sudah di kanan-kiri sayap. Cepat sekali mereka sampai,” pikir Damanik. Javelin-Javelin itu rupanya berusaha menggiring Tu-16 untuk mendarat ke wilayah Singapura atau Malaysia (forced down). Dalam situasi tegang itu, “Saya perintahkan semua awak siaga. Pokoknya, begitu melihat ada semburan api dari sayap mereka (menembak-Red), kalian langsung balas,” perintahnya. Perhitungan Damanik, paling tidak sama-sama jatuh. Anggota Wara (wanita AURI) yang ikut dalam misi, ketakutan. Wajah mereka pucat pasi.

Dalam keadaan serba tak menentu, Damanik berpikir cepat. Pesawat ditukikkannya untuk menghindari kejaran Javelin. Mendadak sekali. “Tapi, Javelin-Javelin masih saja nempel. Bahkan sampai pesawat saya bergetar cukup keras, karena kecepatannya melebihi batas (di atas Mach 1).” Dalam kondisi high speed itu, sekali lagi Damanik menunjukkan kehebatannya. Ketinggian pesawat ditambahnya secara mendadak. Pilot Javelin yang tidak menduga manuver itu, kebablasan. Sambil bersembunyi di balik awan yang menggumpal, Damanik membuat heading ke Medan.

Segenap awak bersorak kegirangan. Tapi kasihan yang di ekor (tail gunner). Mereka berteriak ternyata bukan kegirangan, tapi karena kena tekanan G yang cukup besar saat pesawat menanjak. Akibat manuver yang begitu ketat saat kejar-kejaran, perangkat radar Tu-16 jadi ngadat. “Mungkin saya terlalu kasar naiknya. Tapi nggak apa-apa, daripada dipaksa mendarat oleh Inggris,” ujar Damanik mengenang peristiwa itu.

Lain lagi cerita Sudjijantono. “Saya ditugaskan menerbangkan Tu-16 ke Medan lewat selat Malaka di Medan selalu disiagakan dua Tu-16 selama Dwikora. Satu pesawat terbang ke selatan dari Madiun melalui pulau Christmas (kepunyaan Inggris), pulau Cocos, kepulauan Andaman Nikobar, terus ke Medan,” katanya. Pesawat berikutnya lewat jalur utara melalui selat Makasar, Mindanao, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Laut Cina selatan, selat Malaka, sebelum akhirnya mendarat di Medan. Ada juga yang nakal, menerobos tanah genting Kra.

Walau terkesan “gila-gilaan”, misi ini tetap sesuai perintah. BK memerintahkan untuk tidak menembak sembarangan. Dalam misi berbau pengintaian ini, beberapa sempat ketahuan Javelin. Tapi Inggris hanya bertindak seperti “polisi”, untuk mengingatkan Tu-16 agar jangan keluar perbatasan.

Misi ala stealth 
Masih dalam Dwikora. Pertengahan 1963, AURI mengerahkan tiga Tu-16 versi bomber (Badger A) untuk menyebarkan pamflet di daerah musuh. Satu pesawat ke Serawak, satunya ke Sandakan dan Kinibalu, Kalimantan. Keduanya wilayah Malaysia. Pesawat ketiga ke Australia. Khusus ke Australia, Tu-16 yang dipiloti Komodor Udara (terakhir Marsda Purn) Suwondo bukan menyebarkan pamflet. Tapi membawa peralatan militer berupa perasut, alat komunikasi dan makanan kaleng. Skenarionya, barang-barang itu akan didrop di Alice Springs, Australia (persis di tengah benua), untuk menunjukkan bahwa AURI mampu mencapai jantung benua kangguru itu. “Semacam psi-war buat Australia,” ujar Salatun.

Padahal Alice Springs ditongkrongi over the horizon radar system. “Untuk memantau seluruh kawasan Asia Pasifik,” ujar Marsma (Pur) Zainal Sudarmadji, pilot Tu-16 angkatan Ciptoning II.

Walau begitu, misi tetap dijalankan. Pesawat diberangkatkan dari Madiun sekitar jam satu malam. “Pak Wondo (pilot pesawat-Red) tak banyak komentar. Beliau hanya minta, kita kumpul di Wing 003 pukul 11 malam dengan hanya berbekal air putih,” ujar Sjahroemsjah, gunner Tu-16 yang baru tahu setelah berkumpul bahwa mereka akan diterbangkan ke Australia. Briefing berjalan singkat. Pukul 01.00 WIB, pesawat meninggalkan Madiun. Pesawat terbang rendah guna menghindari radar. Sampai berhasil menembus Australia dan menjatuhkan bawaan, tidak terjadi apa-apa. Pesawat pencegat F-86 Sabre pun tak terlihat aktivitasnya, rudal anti pesawat Bloodhound Australia yang ditakuti juga “tertidur”. Karena Suwondo berputar agak jauh, ketika tiba di Madiun matahari sudah agak tinggi. “Sekitar pukul delapan pagi,” kata Sjahroemsjah.

Penyusupan ke Sandakan, dipercayakan ke Sudjijantono bersama Letnan Kolonel Sardjono (almarhum). Mereka berangkat dari Iswahyudi (Madiun) jam 12 malam. Pesawat membumbung hingga 11.000 m. Menjelang adzan subuh, mereka tiba di Sandakan. Lampu-lampu rumah penduduk masih menyala. Pesawat terus turun sampai ketinggian 400 m. Persis di atas target (TOT), ruang bom (bomb bay) dibuka. Seperti berebutan, pamflet berhamburan keluar disedot angin yang berhembus kencang.

Usai satu sortie, pesawat berputar, kembali ke lokasi semula. “Ternyata sudah gelap, tidak satupun lampu rumah yang menyala,” kata Sudjijantono. Rupanya, aku Sudjijantono, Inggris mengajari penduduk cara mengantisipasi serangan udara. Akhirnya, setelah semua pamflet diserakkan, mereka kembali ke Iswahyudi dan mendarat dengan selamat pukul 08.30 pagi. Artinya, kurang lebih sepuluh jam penerbangan. Semua Tu-16 kembali dengan selamat.

Dapat dibayangkan, pada dekade 60-an AURI sudah sanggup melakukan operasi-operasi penyusupan udara tanpa terdeteksi radar lawan. Kalaulah sepadan, bak operasi NATO ke Yugoslavia dengan pesawat silumannya.

Akhir Perjalanan Sang Bomber

Sungguh ironis nasib akhir Tu-16 AURI. Pengadaan dan penghapusannya lebih banyak ditentukan oleh satu perkara: politik! Bayangkan, “AURI harus menghapus seluruh armada Tu-16 sebagai syarat mendapatkan F-86 Sabre dan T-33 T-bird dari Amerika,” ujar Bagio Utomo, mantan anggota Skatek 042 yang mengurusi perbaikan Tu-16. Bagio menuturkan kesedihannya ketika terlibat dalam tim “penjagalan” Tu-16 pada tahun 1970.

Dokumen CIA (central intelligence agency) sebagaimana dikutip Audrey R Kahin dan George McT Kahin dalam bukunya “Subversi Sebagai Politik Luar Negeri” menulis: “Belanja senjata RI mencapai 229. 395.600 dollar AS. Angka itu merupakan akumulasi perdagangan pada tahun 1958. Sementara dari Januari hingga Agustus 1959 saja, nilainya mencapai 100.456.500 dollar AS. Dari jumlah ini, AURI kebagian 69.912. 200 dollar AS, yang di dalamnya termasuk pemesanan 20 pesawat pembom.”

Tidak dapat dipungkiri, memang, Tu-16 pembom paling maju pada zamannya. Selain dilengkapi peralatan elektronik canggih, badannya terbilang kukuh. “Badannya tidak mempan dibelah dengan kampak paling besar sekalipun. Harus pakai las yang besar. Bahkan, untuk membongkar sambungan antara sayap dan mesinnya, laspun tak sanggup. Karena campuran magnesiumnya lebih banyak ketimbang alumunium,” ujar Bagio.

Namun Tu-16 bukan tanpa cacat. Konyol sekali, beberapa bagian pesawat bisa tidak cocok dengan spare pengganti. Bahkan dengan spare yang diambil secara kanibal sekalipun. “Kita terpaksa memakai sistem kerajinan tangan, agar sama dan pas dengan kedudukannya. Seperti blister (kubah kaca-Red), mesti diamplas dulu,” kenang Bagio lagi. Pengadaan suku cadang juga sedikit rumit, karena penempatannya yang tersebar di Ujung Pandang dan Kemayoran.

Sebenarnya, persediaan suku cadang Tu-16 yang dipasok dari Rusia, memadai. Tapi urusan politik membelitnya sangat kuat. Tak heran kemudian, usai pengabdiannya selama Trikora – Dwikora dan di sela-sela nasibnya yang tak menentu pasca G30S/PKI, AURI pernah bermaksud menjual armada Tu-16-nya ke Mesir. Namun hal ini tidak pernah terlaksana.

Begitulah nasib Tu-16. Tragis. Farewell flight, penerbangan perpisahannya, dirayakan oleh para awak Tu-16 pada bulan Oktober 1970 menjelang HUT ABRI. Dijejali 10 orang, Tu-16 bernomor M-1625 diterbangkan dari Madiun ke Jakarta. “Sempat ke sasar waktu kita cari Monas,” ujar Zainal Sudarmadji. Saat mendarat lagi di Madiun, bannya meletus karena awaknya sengaja mengerem secara mendadak. 

Patut diakui, keberadaan pembom strategis mampu memberikan efek psikologis bagi lawan-lawan Indonesia saat itu. Bahkan, sampai pertengahan 80-an, Tu-16 AURI masih dianggap ancaman oleh AS. “Lah, wong nama saya masih tercatat sebagai pilot Tu-16 di ruang operasi Subic Bay, kok,” ujar Sudjijantono, angkatan Cakra 1.

Atraksi Ketangguhan Sang Bomber Dalam Persiapan Operasi Trikora 
Saat Trikora dikumandangkan, angkatan perang Indonesia sedang berada pada “puncaknya”. Lusinan persenjataan Blok Timur dimiliki. Mendadak AURI berkembang jadi kekuatan terbesar di belahan bumi selatan. Dalam mendukung kampanye Trikora, AURI menyiapkan satu flight Tu-16 di Morotai yang hanya memerlukan 1,5 jam penerbangan dari Madiun. “Kita siaga 24 jam di sana,” ujar Kolonel (Pur) Sudjijantono, salah satu penerbang Tu-16. “Sesekali terbang untuk memanaskan mesin. Tapi belum pernah membom atau kontak senjata dengan pesawat Belanda,” ceritanya kepada Angkasa. Saat itu, dikalangan pilot Tu-16 punya semacam target favorit, yaitu kapal induk Belanda Karel Doorman.

Selain memiliki 12 Tu-16 versi bomber (Badger A) yang masuk dalam Skadron 41, AURI juga memiliki 12 Tu-16 KS-1 (Badger B) yang masuk dalam Skadron 42 Wing 003 Lanud Iswahyudi. Versi ini mampu membawa sepasang rudal anti kapal permukaan KS-1 (AS-1 Kennel). Rudal inilah yang ditakuti Belanda. Karena hantaman enam Kennel, mampu menenggelamkan Karel Doorman ke dasar samudera. Sayangnya, hingga Irian Barat diselesaikan melalui PBB atas inisiatif pemerintah Kennedy, Karel Doorman tidak pernah ditemukan Tu-16.

Lain lagi kisah Idrus Abas (saat itu Sersan Udara I), operator radio sekaligus penembak ekor (tail gunner) Tu-16. Bulan Mei 1962, saat perundingan RI-Belanda berlangsung di PBB, merupakan saat paling mendebarkan. Awak Tu-16 disiagakan di Morotai. Dengan bekal radio transistor, mereka memonitor hasil perundingan. Mereka diperintahkan, “Kalau perundingan gagal, langsung bom Biak,” ceritanya mengenang. “Kita tidak tahu, apakah bisa kembali atau tidak setelah mengebom,” tambah Sjahroemsjah yang waktu itu berpangkat Sersan Udara I, rekan Idrus yang bertugas sebagai operator radio/tail gunner. Istilahnya, one way ticket operation. 

Namun para awak Tu-16 di Morotai ini, tidak akan pernah melupakan jerih payah ground crew-nya. “Yang paling susah kalau isi bahan bakar. Bayangkan untuk sebuah Tu-16, dibutuhkan sampai 70 drum bahan bakar. Kadang ngangkutnya tidak pakai pesawat, jadi langsung diturunkan dari kapal laut. Itupun dari tengah laut. Makanya, sering mereka mendorong dari tengah laut,” ujar Idrus. Derita awak darat itu belum berakhir, lantaran untuk memasukkan ke tangki pesawat yang berkapasitas kurang lebih 45.000 liter itu, masih menggunakan cara manual. Di suling satu per satu dari drum hingga empat hari empat malam. Hanya sebulan Tu-16 di Morotai, sebelum akhirnya ditarik kembali ke Madiun usai Trikora.
[Sumber : Majalah Angkasa]


https://tni-au.mil.id/tu-16-pesawat-pembom-super-yang-pernah-dimiliki-indonesia/
============================


Beberapa koleksi foto Bapak saat berada di Chekoslovakia dan Rusia.


                        Bapak di baris paling belakang, ketiga dari kiri


Bapak (paling kiri) bersama rekan-rekannya








Sunday 13 January 2019

#Rahasia Dapur

Baceman Bawang 

Baceman bawang merupakan fermentasi dari minyak, bawang putih dan kemiri. Baceman ini mantap banget lho digunakan untuk menumis aneka masakan maupun sayuran, seperti nasi goreng, mie goreng, sup, mie kuah, cap cay dan lain sebagainya. 

Cara menggunakannya bisa langsung mengambil minyak beserta bawang dan kemiri (endapannya) saja tanpa tambahan bumbu-bumbu lain lalu digunakan sebagai bumbu tumis, atau bisa juga sebagai pelengkap saat menumis bumbu-bumbu untuk memasak.

Masakan yang memakai tumisan baceman bawang ini memberikan citarasa berbeda, dan aromanya..hhmmm...makin wangii πŸ˜‹. Yang belum coba, wajib nyoba deh..! πŸ˜„

Bahan-bahannya :

Minyak Goreng/minyak sayur  200 ml
Minyak Wijen   50 ml
Bawang putih 100 gram
Kemiri (yang telah disangrai) ukuran besar 4 butir


Cara mengolahnya :
1. Kupas dan cuci bawang. Tiriskan dan keringkan sampai benar-benar kering yaa... 
Saya menjemurnya di bawah matahari, sampai kering saja yaa..jangan kelamaan sampai garing 😁. Pastikan dalam wadah yang tidak memungkinkan lalat hinggap (saya pakai semacam tudung saji πŸ˜„).

2. Haluskan kemiri

3. Bawang yang telah kering digeprek/tumbuk kasar.

4. Tuang minyak wijen dan minyak sayur ke dalam toples (saya menggunakan toples kaca), kemudian masukkan bawang putih dan kemiri. Aduk dengan sendok plastik atau sendok kayu.

5. Tutup rapat toples. Simpan selama 3 hari.

6. Setelah 3 hari minyak bisa digunakan.

Catatan : 
πŸ‘‰Pengalaman kami, bila di suhu ruang, minyak tidak bisa bertahan terlalu lama. Sekitar 2 minggu saja. Sebaiknya simpan di lemari pendingin untuk menjaga kualitasnya.
πŸ‘‰ Bila hendak mengambil minyak ini, gunakan sendok plastik atau kayu serta sendok dalam keadaan kering. Tutup rapat kembali.



 #REFLEKSI                                                                      PESANMU..... "Nak... Jauhilah prasangka buruk kepada si...