Friday 29 March 2019

# Kisah
 
ZIARAH KE MASJID TUA KATANGKA 
DAN MAKAM SULTAN HASANUDDIN


Berziarah ke situs sejarah atau cagar budaya merupakan salah satu "ketertarikan" tersendiri bagi saya. Di mana saya bisa mempelajari dan mendapatkan hal-hal menarik, mendorong saya untuk lebih jauh menyimak cerita dibalik bangunan atau segala hal di tempat tersebut serta mengenal tokoh-tokoh yang melatarbelakangi "keberadaan" nya.

Di samping itu, atmosfer setiap cagar budaya semuanya memiliki keistimewaan, karakter khas, nuansa religius tersendiri dan aura spiritual yang unik. Melalui bangunan dan benda-benda di dalamnya, menjadi saksi perjalanan sejarah panjang pada masanya. Selalu tergelitik untuk menyelami lebih dalam.

Suatu siang menjelang sore yang cerah, usai menyelesaikan suatu keperluan, kami (Saya, suami dan anak kami Narayan) menuju sekolah anak kami -- Riri -- untuk menjemputnya. Melirik jam yang sudah memasuki waktu Shalat Ashar, kami singgah di Masjid Tua Katangka "Al Hilal" karena lokasinya berada sebelum sekolah Riri. Wah, suatu "kejutan" bagi saya...pikirku. Sebab sudah lama saya ingin mengunjungi masjid ini dan berziarah ke makam Sultan Hasanuddin yang berada tak jauh dari lokasi Masjid.

Usai menunaikan Shalat Ashar, saya berjalan mengitari lokasi Masjid bersama Narayan dan beberapa anak-anak di situ yang menawarkan mengantar kami berkeliling melihat-lihat sekitar.

Memasuki pekarangan Masjid, langsung nampak beberapa makam dan sisa dinding dari bangunan lampau yang masih berdiri. Terdapat pula beberapa makam dalam bangunan berbentuk "segitiga" bercat putih dan berpintu besi. Berjalan menyusuri sisi kanan pekarangan, akan terlihat areal pemakaman yang merupakan makam keluarga keturunan Raja Gowa. Areal ini masih bersambung hingga belakang lalu kiri masjid. Pada sisi kiri lokasi Masjid dari arah depan, terdapat gerbang masuk yang terdapat papan bertuliskan "Kompleks Makam Keluarga Keturunan Raja Gowa".

Dari pelataran Masjid memandang ke atas arah selatan, terlihat bendera merah putih berkibar dan atap mirip "kubah" berwarna emas, yang ternyata adalah bagian dari wilayah pemakaman Sultan Hasanuddin dan Raja-Raja Gowa. Wilayahnya berada sekitar beberapa puluh meter ke atas sehingga nampak jelas dari tempat saya berdiri. Untuk ke sana tentu menempuh jalan menanjak. Namun akses jalan yang layak untuk ke tempat itu sepertinya belum ada. Sayang sekali... kami harus memutar dengan kendaraan dari lokasi Masjid Al Hilal yang berada di Jalan Katangka, ke lokasi tersebut yang berada di Jalan Somba Opu (sekitar 1 kilometer).

Tiba di sana, pandangan disambut oleh gerbang megah pintu masuk kompleks makam Sultan Hasanuddin. Setelah memasuki gerbang terdapat pelataran cukup luas dan selasar atau "pendopo". Mungkin sebagai tempat beristirahat atau berteduh bagi pengunjung dari luar kota atau wisatawan. Sedangkan Kompleks pemakaman terletak pada sayap kiri selasar, dikelilingi pagar besi. Memasuki pintu pagar, terlihat berderet makam dalam "bangunan batu" tanpa cat dengan bentuk berundak. Rupanya itu merupakan makam Raja-Raja Gowa. Diantaranya adalah makam Sultan Hasanuddin, yang pada bagian atasnya terdapat pahatan gambar "Ayam Jantan" berwarna merah dan putih.

Terlihat pula suatu makam dalam "bangunan" bercat putih. Pada bagian depan di atas pintu masuk tertulis,"Sombangta I Tadji Barani Daeng Marompa Karaeng Data Tuni Batta", Raja Gowa XI. Beliau gugur di Medan Bakti dalam suatu pertempuran, setelah 20 hari penobatan sebagai Raja Gowa.

Kompleks pemakaman ini memang baru saja mengalami pemugaran sehingga semakin kelihatan sejuk dan indah walau nampaknya proses pemugaran masih berlangsung. Bagian belakang di luar pagar pemakaman terdapat taman dan beberapa gazebo, juga konstruksi besi yang di dalamnya dibangun semacam tugu berbentuk pedang tinggi menjulang. Pada dinding belakang bertuliskan "AREA SEJARAH KARAENG TA".

Dari pelataran belakang pemakaman ini saya bisa melihat bagian belakang Masjid Tua Katangka beserta "Kompleks Makam Keluarga Keturunan Raja Gowa" yang tadi kami kunjungi. Sejauh mata memandang terpampang panorama selatan kota Makassar. Semilir angin sore menemani keriangan Riri dan Narayan yang saling berkejaran. Mereka memang sering menemani saya dan sangat menikmati setiap kunjungan ke berbagai cagar budaya.

Cahaya matahari meredup, menandakan senja yang semakin bergulir. Kami pun beranjak pulang membawa cerita sore sebagai bagian dari menapak tilas sejarah Kerajaan Gowa. Kediaman kami tak terlalu jauh dari sini, sekitar lima kilometer. Tak begitu jauh dari pemukiman kami pula terdapat jejak sejarah Kerajaan Gowa lainnya yaitu "Benteng Somba Opu".

########

Sultan Hasanuddin lahir di Gowa (Sulawesi Selatan), tanggal 12 Januari 1631. Wafat di Gowa, 12 Juni 1670 pada usia 39 tahun. Sultan Hasanuddin adalah Raja Gowa ke-16 dan pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama "Muhammad Bakir I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape" sebagai nama pemberian dari Qadi Islam Kesultanan Gowa yakni Syekh Sayyid Jalaludin bin Ahmad Bafaqih Al-Aidid, seorang mursyid tarekat Baharunnur Baalwy Sulawesi Selatan yang juga adalah gurunya, termasuk guru tarekat dari Syeikh Yusuf Al-Makassari. Setelah menaiki Tahta, Ia digelar "Sultan Hasanuddin" dan setelah wafat diberi gelar "Tumenanga Ri Balla Pangkana". Karena keberaniannya, Ia dijuluki "De Haantjes van Het Osten" oleh Belanda yang artinya "Ayam Jantan dari Timur". Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden No. 087/TK/1973, tanggal 6 November 1973. (Sultan Hasanuddin, wikipedia)

Sultan Hasanuddin, merupakan putera dari Raja Gowa ke-15, I Manuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiyung Sultan Muhammad Said. Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowamulai tahun 1653 sampai 1669. Kerajaan Gowa adalah merupakan kerajaan besar di Wilayah Timur Indonesia yang menguasai jalur perdagangan. (Sultan Hasanuddin, wikipedia).


Mila Nurhayati
Foto-foto : Mila.N
Makassar 29 Maret 2019

























































Thursday 21 March 2019

# Kisah

PERCIKAN KEARIFAN LOKAL DARI JAZIRAH MANDAR



Coretan jejak seorang anak yang tengah beranjak remaja saat itu, di suatu dusun bernama Batulaya, terletak di Jazirah Mandar (Sulawesi Barat). Tumbuh dari keluarga dengan nuansa religius yang kental. Ba'du, demikian Ia disapa. Ia kerap menemani Sang Kakek ke berbagai acara tradisional maupun keagamaan. Beragam pertanyaan sering Ia lontarkan kepada Sang Kakek untuk memenuhi rasa keingintahuannya yang besar terhadap kehidupan.

Seperti pada suatu kesempatan yang amat Ia kenang, kala bercengkerama dengan Sang Kakek yang Ia panggil "Pua Rippung" itu, Ba'du kembali menghujani beliau dengan pertanyaan-pertanyaan. Diantara pertanyaan itu :
"Bagaimana seseorang itu mencintai dan dicintai?"
"Bagaimana cara agar memiliki keberanian?"
"Bagaimana cara mendapatkan rezeki?" dan sebagainya.
Kali ini Sang Kakek tidak menjawabnya.

Kemudian Pua Rippung berujar kepada Ba'du : "Ilmu untuk itu tidak ada... kecuali saya pesankan lima hal. Pesan ini bukan sembarang pesan. Pesan ini mengatasi semua ilmu dan inilah hakikat hidup yang sesungguhnya.

"E...Appo, dian lima passalan naupasanganoo matin. Da mupogaui appe pappogauan, anna pogaui mesa tokko gau. Iyamo :
dao melo disanga,
da to'o menggau losong,
da to'o merau akkeimangan,
anna da to'o mappogau gau iya namassussai tau laen.
Anna pappogauo panggauaniya malamasurun mappessannangngi atuotuoammu siola todialawemu anna makkasiwiang lao di Puang Allata'ala anna menggau mapia laodiparammu rupa tau."

(Artinya : Wahai cucuku, kupesankan padamu lima hal. Empat hal jangan kamu lakukan dan satu kamu harus melakukannya.
pertama : jangan kamu sombong,
kedua : jangan kamu berbuat kebohongan,
ketiga : jangan kamu meminta jabatan,
keempat : jangan kamu melakukan sesuatu yang merusak orang lain,
dan kelima : lakukan sesuatu yang dapat kamu nikmati dalam hidupmu bersama keluargamu dengan menyembah kepada Allah SWT dan berbuat baik kepada sesama manusia.)

*************************
Penulis : Mila Nurhayati

Sumber dan disadur dari :
"Sketsa Sebuah Kehidupan Anak Dusun", Autobiografi Abdul Rahman Halim.

Foto : Masjid Nurut Taubah-Imam Lapeo, Campalagian, Polewali-Mandar (Mei 2018)/Mila.N

Repost dari FB Mila Nurhayati, 20 Maret 2019.

#Refleksi 

CORETAN PENA SEORANG ISTRI DAN IBU




Bila seorang Ibu ceria, seisi rumah menjadi ceria
Bila seorang Ibu bahagia, seisi rumah menjadi bahagia

Kata orang...
Dibalik suami hebat, ada istri yang luar biasa
Dibalik anak hebat, ada Ibu yang luar biasa

Dibalik suami sholeh, ada istri sholehah
Di balik anak sholeh/sholehah, ada Ibu yang sholehah

Orang Bijak berkata...
"Ruh" suatu rumah ada pada Istri/Ibu

Bila seorang Ibu tertekan, bisa memengaruhi seisi rumah
Bila seorang Ibu merasa tidak nyaman, dapat dirasakan oleh penghuni rumah
Yang bisa pula memengaruhi suasana hati setiap penghuninya ketika beraktifitas di luar, juga dalam berkarya dan berprestasi.

Menyandang gelar seorang "Ibu" atau "Istri" harus diterima dengan senang hati, penuh suka cita, dan menjalaninya dengan riang gembira agar menularkan kedamaian ke segenap penjuru rumah.

Memang bukan perkara mudah, di tengah serbuan "perkara" lain yang hadir silih-berganti, selain harus menyelesaikan berbagai tugas dan tanggung jawab, bertahan dalam beragam situasi yang kadang "menguras" energi, serta berbagai situasi lainnya. Masih dituntut untuk tetap ceria? Tetap sejuk kala dilanda "kegerahan"?

Seorang Istri atau Ibu juga dituntut tegar, kuat dan tangguh dalam setiap kondisi yang dihadapinya. Di saat yang bersamaan, Ia harus dituntut untuk memiliki kesabaran yang luas, kasih sayang tanpa batas dalam mendidik dan membesarkan anak-anak, sebagai pendamping suami, pun sebagai anak bagi orang tuanya, juga peran dalam kekerabatan dan masyarakat.

Wahai para Suami, bahagiakan Istrimu...
Beri perhatian, pahami, dan jadikanlah sebagai partner yang baik dalam bekerja sama membangun Istanamu.
Perlakukanlah Ia sebagai "Ratu"
Maka engkau akan diperlakukannya sebagai "Raja"

Wahai para Suami, setialah pada Istrimu...
Istri yang telah bersedia dan mengikhlaskan diri serta hatinya untuk menjadi pendampingmu
Setia menemanimu kala senang dan kesulitan
Menerimamu dalam keadaan apa pun

Godaan bagi seorang suami maupun seorang istri mungkin akan dijumpai
Namun jika memperturutkan hawa nafsu, tak akan pernah ada akhirnya
Selalu ada alasan, selalu ada celah
Bila iman telah terkikis, segalanya melemah
Kesetiaan, komitmen, akhlaq, moral, nilai yang dianut perlahan luntur bahkan menghilang...

Seorang Suami yang berakhlaq mulia mengantarkan Istri dan anak-anaknya kepada kesholehan.
Seorang Suami yang penuh kasih sayang, mengantarkan keteduhan bagi keluarganya
Demikian pula,
Seorang Istri dan Ibu yang tenang hatinya mengantarkan ketenangan hati dan kesuksesan bagi Suami dan anak-anaknya

Perjalanan hidup di alam fana ini tidaklah lama...
Setiap insan telah dititipkanNya "peran" untuk dijalani
Laki-laki dan perempuan hanyalah "sebutan" saja
Setiap manusia akan mempertanggungjawabkan perannya masing-masing
Toh, di mata Allah semua sama
Yang membedakan adalah ketaqwaan
Dan pada tingkatan "maqam" mana Ia berada.




Mila Nurhayati
22 Maret 2019


Thursday 7 March 2019

#Kisah

HARAP


Tanpa terasa waktu bergulir... detak jam yang tak mungkin bisa dihentikan mengantarkan kepada pergantian hari demi hari. Tak ayal menitikkan sedikit kegelisahan akan terwujudnya suatu impian.

Apakah niatku ini dapat terwujud? Niat akan menjalani suatu perjalanan, berziarah ke tempat yang telah lama ada dalam ruang harapan. Kekuatan tarik-menarik telah kurasakan sejak dulu. Saya ingin ke sana. Meskipun tak tahu mengapa. Mengapa?
Yah, saya pun tak terlalu paham saat itu.

Namun perjalanan waktu perlahan membuka sedikit demi sedikit tabir yang dulu sama sekali tak kupahami. Satu per satu pesan terurai... Membuatku terkesima. Sepanjang inikah jalan yang kutempuh untuk membuat tabir itu sedikit demi sedikit membuka? Berapa hari, bulan, tahun...? Ternyata seumur hidupku ini, puluhan tahun!

Suatu kesempatan kupikir merupakan pintu pembuka ke sana. Melalui pesan Ayahanda kepadaku. Tak ada sesuatu pun di dunia ini yang kebetulan. Sehelai daun pun jatuh ke bumi karena perintah dariNya. Menuntutku merentangkan harapan kembali. Mengadakan perjalanan!

Perjalanan yang jika dipikir secara matematis...entahlah! Sanggupkah?
Namun saya yang seperti biasa berharap akan "kebaikan selalu menghampiri dari niat yang baik", merasa sanggup menapaki semuanya. Walau yang "tak masuk akal" sekali pun. Seperti kejadian sebelum-sebelumnya.
Dan..beberapa sudah terlaksana, terwujud, meski harus menunggu sekian tahun.

Juga kali ini.
Bukankah bagi Allah segala hal bisa saja terjadi?
Apa yang tidak mungkin bagiNya?
Seluruh semesta adalah milikNya.
Apa sulitnya untuk mengantarkan seorang hambaNya kepada suatu tempat?

Suatu tempat... diantara tempat-tempat lainnya yang menjadi harapan bagiku. Harapan untuk tiba di sana. Seolah ingin membuktikan kebesaranMu, yang sebenarnya tak perlu lagi pembuktian itu.
Kuingin sampai di tempat-tempat itu. Walau bagi sebagian orang, saya hanya mengukir angan, merajut mimpi, dan belum terbangun dari tidur panjang.

Namun tak pernah surut keyakinan untuk membuat itu semua menjadi kenyataan. Saya yakin, semua hanya masalah waktu, masa. Semua ada masanya.
Masa yang hanya Ia yang tahu. Namun yang kutahu, Ia selalu mengabulkan do'a hambaNya. Selalu ada hadiah yang Ia berikan kepada setiap makhluknya sepanjang kehidupannya.

Hadiah yang akan diterima jika sang penerima telah "pantas" memperolehnya. Kadang hadiah itu diantar dengan penantian yang tak terduga waktunya
Kadang hadiah itu diberi bersamaan letih jiwa raga mencapainya
Kadang hadiah itu dibungkus oleh kertas cantik yang untuk membukanya membutuhkan kebeningan hati agar tak merusak yang ada di dalamnya
Kadang hadiah itu berbungkus sesuatu yang tak pernah disangka sebelumnya..begitu perih, sehingga hampir membuat berpaling dari harapan akan sesuatu yang lebih besar menanti setelahnya.

Apapun itu, harap ini tetap kusimpan...
menunggu keajaiban itu menyapa.

Makassar, 8 Maret 2019




Lokasi : dalam perjalanan kereta api dari Jakarta menuju Bandung, 2017.


#Kisah

DI MANAKAH BAHAGIA ITU?

Membuka jendela kamar, udara pagi yang dingin dan bersih menerpa memenuhi ruang. Seketika kesejukan mengalir ke seluruh rongga tubuh...

Melihat pemandangan seperti ini dari balik jendela, atau sembari duduk di teras menikmati secangkir teh hangat, bersama buku favorit dan alunan musik lembut...sungguh, "Nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?"

Di sini ada beberapa pohon yang daunnya bisa langsung dijadikan teh. Ia menciptakan sesuatu selalu memiliki manfaat, manusialah yang harus menemukan dan mengkaji manfaat apa yang Ia titipkan di dalamnya.

Beberapa pohon yang menjadi penghuni halaman ini "mengikhlaskan dirinya" untuk dipetik langsung sebagai bahan teh atau ramuan herbal, seperti : daun murbei, daun Afrika Selatan, daun salam, daun kelor, daun bidara, Rosemary dan daun Tin. Sekali lagi, "Nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?"

Disekitar keberadaan suatu makhluk sebenarnya selalu bersama ayat-ayat dariNya yang Ia sediakan untuk mencukupi kebutuhan, meriangkan hati dan membahagiakan.

Kata orang...
"Bahagia itu sederhana."
"Hidup itu sederhana."
"Tak ada yang namanya masalah, semua bisa disederhanakan."
Benarkah?

Kadang bilang bahagia itu sederhana... tapi ketika suatu keinginan saja belum terwujud, atau ketika uang di kantong menipis, semua buyar... di mana bahagia itu?
Hilang?

Ketika masalah datang...hati gelisah, pikiran jadi ruwet, emosi memuncak. Ke mana hidup yang sederhana itu?
Lenyap?

Yang sederhana itu penyikapannya. Pemikiran, perenungan dan reaksi terhadap suatu realita. Sebagai pesan dariNya. Cinta kasihNya.
Sederhana yang lahir dari keheningan hati akan jawaban,
"Kehidupan ini dari mana dan akan ke mana?"

Lamat terdengar alunan syair Dewa 19...

".....Hadapi dengan senyuman
Semua yang terjadi biar terjadi
Hadapi dengan tenang jiwa
Semua 'kan baik-baik saja

Bila ketetapan Tuhan
Sudah ditetapkan
Tetaplah sudah
Tak ada yang bisa merubah
Dan takkan bisa berubah

Relakanlah saja ini
Bahwa semua yang terbaik
Terbaik untuk kita semua
Menyerahlah untuk menang........"

*Catatan pagiku yang masih berbenah dan belajar.

Repost dari FB Mila Nurhayati
Tanggal 8 Maret 2019



#Kisah

LUKA

Jadi, inikah realita itu? Sungguh sesuatu yang tak disangka, tak terduga, tak terbayangkan sebelumnya. Bahkan terlintas sekalipun. Sungguh..!

Kuhanyut dirangkul keterkejutan. Bukan hanya terkejut, namun menderaku dalam ketidakpercayaan dan ketakjuban tak berkesudahan.

Kudesak diriku untuk bangkitkan kesadaran yang selama ini hampir-hampir terabaikan. Wujud diri sendiripun seolah tak kuanggap keberadaannya. Sekejam itukah aku pada diriku sendiri?

"Hei, mengapa masih bertanya? Padahal pertanyaan itu telah berulangkali kau ucap, kau tanyakan nyaris seumur tahun yang kau habiskan untuk bernafas di bumi ini. Kau aniaya dirimu sendiri dengan penyesalan yang kau cari sendiri, luka yang kau biarkan basah dan perih, hingga menginfeksi sisi-sisi relung...sampai-sampai kau sendiri tak menemukan penyembuhnya? Sungguh, kau tak patut membiarkan itu. Luka yang harusnya tak memakan waktu lama untuk menyembuhkan dirinya, mestinya telah mengering dan tak berbekas."

Serentetan petuah itu, ia hampir selalu tahu apa yg kupikirkan.

Aku hanya menunduk mendengar segala ucapannya. Penggalan-penggalan cerita hilir-mudik hadir.
Ah, entahlah!
Mengapa aku tak memahami semua ini? Aku tak berdaya berdiri menatap angkasa, berteriak sekuatnya menanyakan : "Mengapa, Tuhan...???"
Tak pantas kumenanyakan takdirNya, rahasiaNya. Suratan itu toh telah tertulis dengan tintaNya. Aku hanyalah hamba yang tak mengerti. Layaknya bayi mungil dengan wajah lucu tanpa dosa yang hanya mampu memandang sekitarnya dengan keluguan dan kenaifan.

"Tidak, sekarang itu bukan rahasia lagi. Kau akan tahu semuanya." Suaranya terdengar kembali. Aku mengangkat wajah.

Kemudian hari-hari setelahnya, aku mencari obat penawar luka itu. Luka yang telah menjadi infeksi meluas... Mencari dari negeri ke negeri, berjalan...berjalan...tak kuhitung lagi bulan-bulan dan tahun-tahun yang terlewati. Seolah kaki ini tak mau berhenti melangkah. Lelah menyergap, aku letih.

Kesadaranku perlahan menyusup masuk, dalam...semakin dalam...
Kubuka mata perlahan. Kulihat luka itu kembali, luka yang kini telah hampir tak berbekas. Inikah keajaibanMu Tuhan? Bertahun-tahun kuhabiskan usia menanti kesembuhan yang rasa-rasanya cukup membuat daya tahan tubuh ini terkuras. Kini nyaris sirna tak teraba indera.

"Benar," sahutnya. Ia telah hadir dihadapanku lagi.
Sejak kapan Ia ada di sini? Hanya kujawab dengan senyum.
"Sudah hampir sembuh," lanjutnya. "Suatu saat akan hilang...sirna. Kau tahu?"
Sepi menyeruak. Dalam hening kupahami perkataannya.
"Ya, aku tahu." suaraku lirih.
"Dengar, tahukah kamu? Luka yang tak kausangka dapat sembuh kini sebentar lagi tak berbekas sedikit pun?" Diam..
"Apakah kau sadar jika ini cuma secuil saja dari karuniaNya, yang tak kau sangka kehadirannya?" ujarnya menerawang mirip seorang Kakek yang mendongeng kepada cucunya.
"Hidup ini berisi perenungan panjang, ketegaran dan kekuatan harus kau miliki agar tak larut dalam luka. Akan selalu ada luka, ada airmata, bahkan darah. Dan kamu tak perlu khawatir dengan semua itu. Tetaplah beramal sholih dalam bingkai Rahman RahimNya." Ia terdiam, menoleh padaku. "Saya yakin kamu siap untuk itu."

Termangu, memandang awan tipis yg perlahan berarak...semakin memperlihatkan cerahnya langit biru bersih. Angin sejuk menerpa tubuhku, seolah hendak memberiku kekuatan serta membisikkan kata, "Tersenyumlah, bahagialah."
"Pasti." jawabku dalam bisikan pula.

by MILA.NZ
*Penggalan kisah
Repost dari FB Mila Nurhayati tanggal 6 Maret 2016


 #REFLEKSI                                                                      PESANMU..... "Nak... Jauhilah prasangka buruk kepada si...