Saturday 11 April 2020

#REFLEKSI 


SEPERTI BIASA..........




"Nak, apa yang meresahkan dirimu?" Tiba-tiba saja suara lembut itu terasa dekat. Sosok itu.... selalu ada. Tanpa menoleh pun aku tahu siapa ia. Tapi aku yakin sebenarnya dia tahu apa yang aku pikirkan atau rasakan, cuma pura-pura tidak tahu. Itu yang kerap dilakukannya. Bertanya, tanpa membutuhkan jawaban. Seperti biasa.

Kuhela nafas panjang. Pandanganku tertuju pada sehelai daun pohon Gardenia yang perlahan jatuh tertiup angin lalu mendarat ke tanah. Bunga Gardenia putih nampak bermekaran, samar aroma wanginya mengalir dalam tarikan nafasku. Semilir angin pagi menerpa wajah. Hangat cahaya mentari pagi mulai terasa di pori-pori kulitku.

Aku menoleh seraya tersenyum lalu menyalaminya. "Terima Kasih kedatangannya, Guru...."
Sebutan "Guru" merupakan sapaanku untuknya.
Ia nampak terkekeh.
"Apa yang lucu, Guru?" tanyaku bingung.
"Belakangan ini banyak hal yang membuatmu bingung, bukan?"
"Dan seperti biasa, Guru selalu bertanya padahal sudah tahu?" jawabku.
Ia diam saja. Kemudian kami duduk di kursi teras menghadap taman kecil depan rumah.

"Nak..." suaranya terdengar serius. Kasih yang tulus begitu sarat teraba pada setiap sapaannya.
"Iya, Guru...." seluruh perhatian kuarahkan kepadanya. Siap mendengarkan apa yang akan disampaikan.
"Aku tahu kamu sedih, Nak....kamu sebenarnya menyadari apa yang harus kamu lakukan dan apa yang ada di depanmu. Namun, engkau seolah merasa tak memiliki kekuatan. Karena kekuatan itu tertutup oleh keraguan."
Aku mendengarkan dalam hening. Aku hanya berusaha mencerna apa yang diucapkannya. Karena ia sudah kuanggap sebagai guru.

"Untuk yang kamu rasakan itu, satu pesan saya. Dari dulu hal ini selalu kuingatkan."
"Apa itu, Guru?"
"Sabar" jawabnya, "Sabarlah, Nak...., suatu saat akan kau saksikan sendiri kebenaran itu. Keraguan hanya akan menghambatmu. Apa engkau masih ragu kepada janji Allah?"
"Tidak, Guru...." jawabku lirih
"Nak....jangan pernah engkau merasa Allah membuatmu menderita dengan apa yang terjadi. Berapa lama pun itu....bahkan jika itu seumur hidupmu. Segala yang terjadi dalam kehidupan, itu karena rahmat Allah... betapa cinta kepada hambaNya. Hanya saja hambaNya seringkali beranggapan jika yang terjadi tidak sesuai dengan harapannya, itu merupakan penderitaan. Padahal dibaliknya ada sesuatu yang tidak diketahui oleh hambaNya. Bahwa Allah menyelamatkannya dari sesuatu yang lebih buruk...."

Ia berdiri dan memegang bahuku, aku menoleh. Seketika kesejukan memenuhi ruang tubuh ini, rasa sesak yang belakangan mendera batin ini perlahan menghilang.
"Bukankan matahari itu sendirian, Nak? Namun Matahari tak pernah takut sendiri. Ia tetap bercahaya tak kenal lelah. Menerangi seluruh penghuni galaksi. Kehadiran sinar matahari senantiasa dinantikan. Dari sinarnya, berapa banyak tumbuhan maupun makhluk lain memperoleh manfaat darinya. Tanpa ia meminta balasan atas apa yang ia lakukan."
Aku menunduk, dalam hati membenarkan semua ucapannya.

"Jangan pernah takut sendirian, Nak. Raihlah cahayaNya.... seseorang yang bercahaya akan senantiasa dinantikan dan menebarkan manfaat di mana pun dia berada. Walaupun tak ada yang mengenalnya, juga tak mengapa. Boleh jadi ia tak terkenal bagi penduduk bumi, namun ia terkenal bagi penduduk langit."

Perlahan kutengadahkan wajah, "Terima Kasih, Guru...."
Namun Guru telah menghilang.
Seketika datang, seketika pergi.
Seperti biasa.......



Makassar, 12 April 2020

Thursday 27 February 2020

#CERPEN


ANDAI WAKTU DAPAT BERPUTAR KEMBALI.....






Pagi cerah tanpa rinai hujan seperti biasanya di musim penghujan belakangan ini. Seperti biasa aku menyelesaikan beberapa rutinitas di pagi hari. Menyiapkan sarapan, mencuci piring, menyapu dan beberes rumah. Kedua anakku sudah berangkat sekolah sedari tadi. Mereka berangkat bersama ayahnya yang sekalian pergi ke kantor. Tinggallah aku sendiri di rumah mungil kami. Sengaja kami memilih rumah mungil dengan dua kamar tidur sebagai kediaman kami agar tidak repot membersihkan dan merawatnya. 

Aku seorang Ibu Rumah Tangga dengan dua orang anak perempuan berusia sepuluh dan dua belas tahun. Kegiatanku sehari-hari selain kesibukan di rumah, aku mengikuti beberapa kelompok pengajian dan menjadi pengurus Yayasan yang bergerak di bidang pendidikan. Hari ini aku mempunyai agenda rapat pengurus untuk membahas pengembangan sekolah PAUD di bawah naungan Yayasan kami.

Jam dinding menunjukkan pukul sepuluh saat aku berkemas setelah berpakaian. Telepon genggamku berbunyi. Kuraih telepon genggam yang sudah aku masukkan ke dalam tas, panggilan dari Dina, sahabatku. 
"Assalamu'alaikum, Dina..." 
"Wa'alaikumsalam Ranti...." jawaban Dina terdengar sangat lirih dan...setengah terisak!
"Dina...kenapa Din?" Kejarku agak khawatir mendengar isakan lirihnya.
"Ibuku Ranti... Ibuku...meninggal dunia semalam...."
"Innalillahi wa innailaihi roji'un...., turut berduka cita Dina... aku segera ke sana ya." Aku menutup pembicaraan dan bergegas menuju ke rumah Dina. Kuurungkan niat untuk menghadiri rapat pengurus Yayasan dan mengabari pengurus lainnya bila aku tidak bisa hadir.

Setiba di rumahnya yang sudah ramai oleh para pelayat, aku melihat Dina duduk di samping jenazah Ibunya dengan wajah menunduk. Kupeluk sahabatku itu... Ia belum bisa banyak berbicara, air mata masih sesekali menetes membasahi pipinya. Aku mengenal ibunya. Dulu semasa kuliah aku terbilang sering mengunjungi rumah Dina, namun jarang bertemu ibunya karena beliau bekerja pada suatu instansi dan baru pulang di sore hari. Setelah menikah Aku dan Dina jarang bertemu karena kesibukan masing-masing. Tetapi kami masih menjalin komunikasi melalui media sosial maupun saling menelpon untuk sekedar bertukar cerita.

Tibalah saat jenazah dimandikan. Dina turut memandikan jenazah Ibunya. Aku memandangnya dari kejauhan. Pikiranku menerawang... Mengunjungi tempat kedukaan seperti ini merupakan pengingat bagi kita semua yang masih hidup bahwa ajal bisa kapan saja datangnya. Namun mengapa masih saja banyak manusia tenggelam dalam Egonya?

Samar-samar terlihat sosok Ibunda Dina nampak memandang jenazahnya yang sementara dimandikan, Ibu berdiri tepat di sisi kanan tubuh kaku itu. Wajah itu.... terlihat murung. 
"Apa yang Ibu pikirkan?" aku menyapanya.
"Aku seperti tak percaya bahwa saat ini tiba juga." Jawabnya nyaris tak terdengar.
Aku tertegun.
Dengan hati-hati kuberanikan diri berkata, "Bukankah.....Ibu sudah cukup lama sakit, seperti yang Dina ceritakan kepadaku? Mestinya Ibu sudah lebih siap menerima semua ini." 
"Begini rasanya kematian itu..." Ujar Ibu pelan masih dengan raut wajah murungnya, tanpa ingin menjawab ucapanku tadi.
Diam sejenak.

"Dulu Aku banyak melakukan kesalahan." Ibunda Dina memulai pembicaraan lagi. "Semasa hidup aku sering mempertahankan Egoku, keras kepala dan sulit berkompromi. Aku kerap berseberangan dengan saudara-saudaraku, suami, anak-anak atau siapa pun. Banyak hal yang sudah terjadi dan menyakitkan bagi banyak orang. Tak sedikit pula mereka yang menjauhiku. Semua itu karena aku cepat dikuasai oleh amarah bila ada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginanku dan menyimpan dendam bagi siapa saja yang kuanggap menyakitiku." Pernyataan demi pernyataan Ibu membuatku tercenung.

"Andai waktu dapat berputar kembali..." lanjutnya lagi. "Aku ingin memperbaiki segalanya, lebih menyayangi mereka, orang-orang di sekitarku. Aku ingin lebih bersikap baik terhadap siapa saja. Kini semua tidak ada artinya lagi. Andai dulu aku menyadarinya..." ucapannya terhenti. Nampak kemurungan dan penyesalan semakin bergelayut pada parasnya.

"Begini rasanya kepergian itu. Beginilah rasanya. Andai waktu dapat berputar kembali........" Ibunda Dina mengulang kalimatnya, masih tak percaya.....

************


Makassar, 27 Februari 2020
Foto dan qoute : Mila.n.t.z

Monday 3 February 2020

#CERPEN





TEMAN BERMAIN

"Ma, Vina berangkat sekolah..." Vina menghampiriku setelah Ia merapikan letak tas punggungnya, kemudian menyalami dan mencium punggung tangan kananku.
"Iya Nak, selamat ya... semangat belajar kan anak Mama?" ujarku sembari mengelus lembut kepalanya yang terbalut jilbab putih.
"Semangat dong Ma...!" balas Vina seraya mengacungkan jempol kanannya ke depan disertai binar ceria mata polosnya.
"Gitu dong anak Mama...!" sahutku membalas dengan memberinya jempol dan mencubit lembut pipi kirinya.

"Aku berangkat dulu ya, Ma." Papa beranjak dari kursi setelah menyelesaikan sarapan, meraih tasnya lalu berjalan menghampiriku.
"Selamat Pa." kataku sembari mencium tangannya.
"Yuk Nak kita berangkat..." Papa berjalan ke arah sepeda motornya, Vina mengikuti di belakang, "Ayoo..."
Setiap hari Papanya membonceng Vina dengan sepeda motor ke sekolah sekalian menuju kantor. Aku mengantar mereka ke depan halaman rumah dan melambaikan tangan.

Beginilah rutinitas setiap pagi. Setiap hari setelah Vina, anakku satu-satunya itu ke sekolah bersama Papanya, Aku menyelesaikan pekerjaan rumah dan jahitan para pelangganku. Yah, Aku memiliki keterampilan menjahit sejak masih remaja. Ibu mengajariku karena merasa Aku tertarik dengan dunia desain busana serta gemar melihat lembar mode majalah-majalah remaja dan wanita. Vina kini telah kelas empat Sekolah Dasar. Ia pulang sekolah sore hari dijemput Papanya sepulang kantor. Seharian Aku bisa melakukan aktifitas rumah dan tidak merasa kesepian karena pelangganku kerap datang dengan berbagai keperluan jahitan. Aku menyukai pekerjaanku. Bila pelangganku puas dengan hasil rancangan dan jahitanku, Aku pun turut senang.

Aku masih menyiram tanaman di halaman ketika pandanganku menangkap tetangga sebelah yang terlihat memasuki mobil untuk berangkat ke tempat kerjanya. Mereka pasangan suami istri yang sibuk. Setiap pagi mereka berangkat kerja dengan mobil berbeda. Orang berada dengan rumah yang terbilang cukup mewah. Biasanya sang istri pulang menjelang maghrib, sang suami pulang malam bahkan larut malam. Mereka memiliki satu anak perempuan berusia sekitar enam tahun yang masih bersekolah di Taman Kanak-Kanak. Setiap hari anak mereka berangkat sekolah bersama Ibunya dan siang hari dijemput dari sekolah oleh Mbak Asisten Rumah Tangga dengan sepeda motor. Sekolah anaknya tak seberapa jauh dari sini.

Aku merasa iba dengan anak itu, Kania namanya. Anak cantik yang selalu ceria, walau Ia nampak kesepian di rumah. Sering Aku melihatnya bermain sendirian atau bersama mbak ART di teras rumahnya. Dulu sewaktu anakku Vina belum duduk di bangku kelas empat dan masih pulang sekolah siang hari, Ia menemani Kania bermain di teras rumahnya. Kadang Kania bermain di rumah kami. Kania senang bermain bersama Vina, anak itu pun akrab denganku. Kania memang anak pemberani yang mudah akrab dengan siapa saja.

Namun suatu kali Aku pernah dikejutkan oleh pertanyaan Kania, "Tante... Kania sebenarnya anak Ayah dan Bunda apa bukan?" ujarnya lugu, tangannya menyisir rambut boneka Barbie. Aku mengernyitkan dahi. Mengapa pertanyaannya bisa aneh begitu ya... batinku.
Sambil merangkulnya Aku berkata, "Kok Kania bisa berpikir begitu? Tentu Ayah dan Bunda sangat sayang sama Kania..." kubelai rambutnya yang panjang.
"Enggak! Kania ditinggal terus di rumah. Kalo pulang, Ayah suka marah-marah. Ayah jahat. Bunda juga. Kalo Bunda di rumah gak mau denger Kania ngomong, gak mau dongengin Kania sebelum tidur, gak mau main sama Kania."
Agak terperanjat mendengarnya. Aku menghela napas panjang..... Jadi selama ini Kania merasa tertekan dengan perlakuan kedua orang tuanya. Astaghfirullah... kasihan Kania.
*****

Kuteguk sisa teh hijau hangat di cangkir. Sore begini biasanya Aku duduk di teras membaca buku atau browsing desain-desain busana di internet. Bersantai sejenak setelah menyelesaikan perkerjaan rumah sembari menunggu Vina dan Papanya pulang. Beberapa bunga di halaman nampak mekar...indah sekali. Memelihara berbagai tanaman hias merupakan kesenanganku yang lain. Memandang warna-warni bunga dan dedaunan sungguh semakin membuatku tak henti-hentinya memuji kebesaran Allah. Merawat taman kecil ini memberikan kehagiaan tersendiri. Bahagia itu datang dari hal-hal sederhana dan tak selalu dari sesuatu yang berharga mahal. Namun masih ada manusia yang tidak atau belum mampu menemukan kebahagiaan itu. Padahal Ia boleh jadi telah memiliki banyak harta bahkan memiliki segalanya. Itulah Kebahagiaan hakiki, yang tak semua manusia mampu menemukannya.

Kulirik rumah sebelah. Ada Kania sedang bermain di teras sendirian. Kami tinggal di perumahan dengan konsep tak berpagar sehingga antar tetangga masih mudah untuk saling bertemu dan silaturahim.
"Hai Kania...." panggilku, Aku berjalan menghampirinya. "Kania main apa?" Aku duduk berhadapan dengannya. Berbagai jenis boneka dan mainan nampak berserakan di lantai teras. Sedari tadi terlihat Ia berbincang-bincang dengan boneka panda besar berwarna putih hitam.
Sekilas Kania memandangku, "Main boneka, Tante..." jawabnya sambil memperlihatkan boneka pandanya.
"Kok Kania main sendirian?" tanyaku.
"Kania main sama Tasya..." sahutnya, kemudian kembali mengajak bicara bonekanya.
"Tasya? Siapa dia? Sekarang di mana?"
"Tuuhh....." katanya menunjuk ke arah samping kanan dengan dagunya. "Masa Tante gak lihat? Dia lagi mainin boneka kelincinya Kania."
Jantungku mulai berdegup lebih cepat... bukannya sedari tadi Kania sendirian?
Aku mencoba menenangkan diri. Belum reda kebingunganku, Kania berseru, "Tante...! Tadi Tasya bilang suka sama Tante... Tante mirip dengan Ibunya. Tasya sudah lama tidak ketemu Ibunya, Dia rindu sekali.... Katanya Tasya pengen tinggal di rumah Tante, boleh?"
Aku gelagapan.....



Makassar, 3 Februari 2020

 #REFLEKSI                                                                      PESANMU..... "Nak... Jauhilah prasangka buruk kepada si...