Friday 4 March 2022

 #REFLEKSI


                                                                     PESANMU.....





"Nak...

Jauhilah prasangka buruk kepada siapapun. Entah ia orang baik, maupun bukan. Terlebih jangan pernah berprasangka buruk kepada Allah. Apa yang Allah berikan sesungguhnya semua untuk kebaikan hambaNya.


Nak...

Ketenangan itu tidak dspat dicari ke mana-mana, karena ketenangan itu hanya ada di dalam qalb.


Nak...

Senantiasalah beristighfar, mohon ampun kepada Allah, walau bukan pada saat engkau merasa telah berbuat keliru. Namu  ingat, istighfar tidak hanya diucapkan secara lisan, namun dengan kesadaran dan penuh kekhusyukan.


Nak...

Selalu akan ada yang menghalangimu mencapai tujuan. Apakah itu dari luar, maupun dari dalam dirimu sendiri. Berpegangteguhlah pada keyakinan yang kau tanam dalam dirimu. Jangan sampai goyah, karena itu dapat membuatmu berputus asa. Berserah dirilah dan kembalikan semua hanya kepada Allah SWT.


Kata-katamu masih terngiang. Engkau sudah pamit sedari tadi. Pergi begitu saja bersama rinai hujan yang mulai membasahi bumi. 

Malam beranjak dini hari.

Dan aku pun masih terjaga....


Repost dari instagram penulis : @nurhayati_mila

Diposting pada tanggal 6 Maret 2021

Foto : mila. N

Saturday 11 April 2020

#REFLEKSI 


SEPERTI BIASA..........




"Nak, apa yang meresahkan dirimu?" Tiba-tiba saja suara lembut itu terasa dekat. Sosok itu.... selalu ada. Tanpa menoleh pun aku tahu siapa ia. Tapi aku yakin sebenarnya dia tahu apa yang aku pikirkan atau rasakan, cuma pura-pura tidak tahu. Itu yang kerap dilakukannya. Bertanya, tanpa membutuhkan jawaban. Seperti biasa.

Kuhela nafas panjang. Pandanganku tertuju pada sehelai daun pohon Gardenia yang perlahan jatuh tertiup angin lalu mendarat ke tanah. Bunga Gardenia putih nampak bermekaran, samar aroma wanginya mengalir dalam tarikan nafasku. Semilir angin pagi menerpa wajah. Hangat cahaya mentari pagi mulai terasa di pori-pori kulitku.

Aku menoleh seraya tersenyum lalu menyalaminya. "Terima Kasih kedatangannya, Guru...."
Sebutan "Guru" merupakan sapaanku untuknya.
Ia nampak terkekeh.
"Apa yang lucu, Guru?" tanyaku bingung.
"Belakangan ini banyak hal yang membuatmu bingung, bukan?"
"Dan seperti biasa, Guru selalu bertanya padahal sudah tahu?" jawabku.
Ia diam saja. Kemudian kami duduk di kursi teras menghadap taman kecil depan rumah.

"Nak..." suaranya terdengar serius. Kasih yang tulus begitu sarat teraba pada setiap sapaannya.
"Iya, Guru...." seluruh perhatian kuarahkan kepadanya. Siap mendengarkan apa yang akan disampaikan.
"Aku tahu kamu sedih, Nak....kamu sebenarnya menyadari apa yang harus kamu lakukan dan apa yang ada di depanmu. Namun, engkau seolah merasa tak memiliki kekuatan. Karena kekuatan itu tertutup oleh keraguan."
Aku mendengarkan dalam hening. Aku hanya berusaha mencerna apa yang diucapkannya. Karena ia sudah kuanggap sebagai guru.

"Untuk yang kamu rasakan itu, satu pesan saya. Dari dulu hal ini selalu kuingatkan."
"Apa itu, Guru?"
"Sabar" jawabnya, "Sabarlah, Nak...., suatu saat akan kau saksikan sendiri kebenaran itu. Keraguan hanya akan menghambatmu. Apa engkau masih ragu kepada janji Allah?"
"Tidak, Guru...." jawabku lirih
"Nak....jangan pernah engkau merasa Allah membuatmu menderita dengan apa yang terjadi. Berapa lama pun itu....bahkan jika itu seumur hidupmu. Segala yang terjadi dalam kehidupan, itu karena rahmat Allah... betapa cinta kepada hambaNya. Hanya saja hambaNya seringkali beranggapan jika yang terjadi tidak sesuai dengan harapannya, itu merupakan penderitaan. Padahal dibaliknya ada sesuatu yang tidak diketahui oleh hambaNya. Bahwa Allah menyelamatkannya dari sesuatu yang lebih buruk...."

Ia berdiri dan memegang bahuku, aku menoleh. Seketika kesejukan memenuhi ruang tubuh ini, rasa sesak yang belakangan mendera batin ini perlahan menghilang.
"Bukankan matahari itu sendirian, Nak? Namun Matahari tak pernah takut sendiri. Ia tetap bercahaya tak kenal lelah. Menerangi seluruh penghuni galaksi. Kehadiran sinar matahari senantiasa dinantikan. Dari sinarnya, berapa banyak tumbuhan maupun makhluk lain memperoleh manfaat darinya. Tanpa ia meminta balasan atas apa yang ia lakukan."
Aku menunduk, dalam hati membenarkan semua ucapannya.

"Jangan pernah takut sendirian, Nak. Raihlah cahayaNya.... seseorang yang bercahaya akan senantiasa dinantikan dan menebarkan manfaat di mana pun dia berada. Walaupun tak ada yang mengenalnya, juga tak mengapa. Boleh jadi ia tak terkenal bagi penduduk bumi, namun ia terkenal bagi penduduk langit."

Perlahan kutengadahkan wajah, "Terima Kasih, Guru...."
Namun Guru telah menghilang.
Seketika datang, seketika pergi.
Seperti biasa.......



Makassar, 12 April 2020

Thursday 27 February 2020

#CERPEN


ANDAI WAKTU DAPAT BERPUTAR KEMBALI.....






Pagi cerah tanpa rinai hujan seperti biasanya di musim penghujan belakangan ini. Seperti biasa aku menyelesaikan beberapa rutinitas di pagi hari. Menyiapkan sarapan, mencuci piring, menyapu dan beberes rumah. Kedua anakku sudah berangkat sekolah sedari tadi. Mereka berangkat bersama ayahnya yang sekalian pergi ke kantor. Tinggallah aku sendiri di rumah mungil kami. Sengaja kami memilih rumah mungil dengan dua kamar tidur sebagai kediaman kami agar tidak repot membersihkan dan merawatnya. 

Aku seorang Ibu Rumah Tangga dengan dua orang anak perempuan berusia sepuluh dan dua belas tahun. Kegiatanku sehari-hari selain kesibukan di rumah, aku mengikuti beberapa kelompok pengajian dan menjadi pengurus Yayasan yang bergerak di bidang pendidikan. Hari ini aku mempunyai agenda rapat pengurus untuk membahas pengembangan sekolah PAUD di bawah naungan Yayasan kami.

Jam dinding menunjukkan pukul sepuluh saat aku berkemas setelah berpakaian. Telepon genggamku berbunyi. Kuraih telepon genggam yang sudah aku masukkan ke dalam tas, panggilan dari Dina, sahabatku. 
"Assalamu'alaikum, Dina..." 
"Wa'alaikumsalam Ranti...." jawaban Dina terdengar sangat lirih dan...setengah terisak!
"Dina...kenapa Din?" Kejarku agak khawatir mendengar isakan lirihnya.
"Ibuku Ranti... Ibuku...meninggal dunia semalam...."
"Innalillahi wa innailaihi roji'un...., turut berduka cita Dina... aku segera ke sana ya." Aku menutup pembicaraan dan bergegas menuju ke rumah Dina. Kuurungkan niat untuk menghadiri rapat pengurus Yayasan dan mengabari pengurus lainnya bila aku tidak bisa hadir.

Setiba di rumahnya yang sudah ramai oleh para pelayat, aku melihat Dina duduk di samping jenazah Ibunya dengan wajah menunduk. Kupeluk sahabatku itu... Ia belum bisa banyak berbicara, air mata masih sesekali menetes membasahi pipinya. Aku mengenal ibunya. Dulu semasa kuliah aku terbilang sering mengunjungi rumah Dina, namun jarang bertemu ibunya karena beliau bekerja pada suatu instansi dan baru pulang di sore hari. Setelah menikah Aku dan Dina jarang bertemu karena kesibukan masing-masing. Tetapi kami masih menjalin komunikasi melalui media sosial maupun saling menelpon untuk sekedar bertukar cerita.

Tibalah saat jenazah dimandikan. Dina turut memandikan jenazah Ibunya. Aku memandangnya dari kejauhan. Pikiranku menerawang... Mengunjungi tempat kedukaan seperti ini merupakan pengingat bagi kita semua yang masih hidup bahwa ajal bisa kapan saja datangnya. Namun mengapa masih saja banyak manusia tenggelam dalam Egonya?

Samar-samar terlihat sosok Ibunda Dina nampak memandang jenazahnya yang sementara dimandikan, Ibu berdiri tepat di sisi kanan tubuh kaku itu. Wajah itu.... terlihat murung. 
"Apa yang Ibu pikirkan?" aku menyapanya.
"Aku seperti tak percaya bahwa saat ini tiba juga." Jawabnya nyaris tak terdengar.
Aku tertegun.
Dengan hati-hati kuberanikan diri berkata, "Bukankah.....Ibu sudah cukup lama sakit, seperti yang Dina ceritakan kepadaku? Mestinya Ibu sudah lebih siap menerima semua ini." 
"Begini rasanya kematian itu..." Ujar Ibu pelan masih dengan raut wajah murungnya, tanpa ingin menjawab ucapanku tadi.
Diam sejenak.

"Dulu Aku banyak melakukan kesalahan." Ibunda Dina memulai pembicaraan lagi. "Semasa hidup aku sering mempertahankan Egoku, keras kepala dan sulit berkompromi. Aku kerap berseberangan dengan saudara-saudaraku, suami, anak-anak atau siapa pun. Banyak hal yang sudah terjadi dan menyakitkan bagi banyak orang. Tak sedikit pula mereka yang menjauhiku. Semua itu karena aku cepat dikuasai oleh amarah bila ada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginanku dan menyimpan dendam bagi siapa saja yang kuanggap menyakitiku." Pernyataan demi pernyataan Ibu membuatku tercenung.

"Andai waktu dapat berputar kembali..." lanjutnya lagi. "Aku ingin memperbaiki segalanya, lebih menyayangi mereka, orang-orang di sekitarku. Aku ingin lebih bersikap baik terhadap siapa saja. Kini semua tidak ada artinya lagi. Andai dulu aku menyadarinya..." ucapannya terhenti. Nampak kemurungan dan penyesalan semakin bergelayut pada parasnya.

"Begini rasanya kepergian itu. Beginilah rasanya. Andai waktu dapat berputar kembali........" Ibunda Dina mengulang kalimatnya, masih tak percaya.....

************


Makassar, 27 Februari 2020
Foto dan qoute : Mila.n.t.z

Monday 3 February 2020

#CERPEN





TEMAN BERMAIN

"Ma, Vina berangkat sekolah..." Vina menghampiriku setelah Ia merapikan letak tas punggungnya, kemudian menyalami dan mencium punggung tangan kananku.
"Iya Nak, selamat ya... semangat belajar kan anak Mama?" ujarku sembari mengelus lembut kepalanya yang terbalut jilbab putih.
"Semangat dong Ma...!" balas Vina seraya mengacungkan jempol kanannya ke depan disertai binar ceria mata polosnya.
"Gitu dong anak Mama...!" sahutku membalas dengan memberinya jempol dan mencubit lembut pipi kirinya.

"Aku berangkat dulu ya, Ma." Papa beranjak dari kursi setelah menyelesaikan sarapan, meraih tasnya lalu berjalan menghampiriku.
"Selamat Pa." kataku sembari mencium tangannya.
"Yuk Nak kita berangkat..." Papa berjalan ke arah sepeda motornya, Vina mengikuti di belakang, "Ayoo..."
Setiap hari Papanya membonceng Vina dengan sepeda motor ke sekolah sekalian menuju kantor. Aku mengantar mereka ke depan halaman rumah dan melambaikan tangan.

Beginilah rutinitas setiap pagi. Setiap hari setelah Vina, anakku satu-satunya itu ke sekolah bersama Papanya, Aku menyelesaikan pekerjaan rumah dan jahitan para pelangganku. Yah, Aku memiliki keterampilan menjahit sejak masih remaja. Ibu mengajariku karena merasa Aku tertarik dengan dunia desain busana serta gemar melihat lembar mode majalah-majalah remaja dan wanita. Vina kini telah kelas empat Sekolah Dasar. Ia pulang sekolah sore hari dijemput Papanya sepulang kantor. Seharian Aku bisa melakukan aktifitas rumah dan tidak merasa kesepian karena pelangganku kerap datang dengan berbagai keperluan jahitan. Aku menyukai pekerjaanku. Bila pelangganku puas dengan hasil rancangan dan jahitanku, Aku pun turut senang.

Aku masih menyiram tanaman di halaman ketika pandanganku menangkap tetangga sebelah yang terlihat memasuki mobil untuk berangkat ke tempat kerjanya. Mereka pasangan suami istri yang sibuk. Setiap pagi mereka berangkat kerja dengan mobil berbeda. Orang berada dengan rumah yang terbilang cukup mewah. Biasanya sang istri pulang menjelang maghrib, sang suami pulang malam bahkan larut malam. Mereka memiliki satu anak perempuan berusia sekitar enam tahun yang masih bersekolah di Taman Kanak-Kanak. Setiap hari anak mereka berangkat sekolah bersama Ibunya dan siang hari dijemput dari sekolah oleh Mbak Asisten Rumah Tangga dengan sepeda motor. Sekolah anaknya tak seberapa jauh dari sini.

Aku merasa iba dengan anak itu, Kania namanya. Anak cantik yang selalu ceria, walau Ia nampak kesepian di rumah. Sering Aku melihatnya bermain sendirian atau bersama mbak ART di teras rumahnya. Dulu sewaktu anakku Vina belum duduk di bangku kelas empat dan masih pulang sekolah siang hari, Ia menemani Kania bermain di teras rumahnya. Kadang Kania bermain di rumah kami. Kania senang bermain bersama Vina, anak itu pun akrab denganku. Kania memang anak pemberani yang mudah akrab dengan siapa saja.

Namun suatu kali Aku pernah dikejutkan oleh pertanyaan Kania, "Tante... Kania sebenarnya anak Ayah dan Bunda apa bukan?" ujarnya lugu, tangannya menyisir rambut boneka Barbie. Aku mengernyitkan dahi. Mengapa pertanyaannya bisa aneh begitu ya... batinku.
Sambil merangkulnya Aku berkata, "Kok Kania bisa berpikir begitu? Tentu Ayah dan Bunda sangat sayang sama Kania..." kubelai rambutnya yang panjang.
"Enggak! Kania ditinggal terus di rumah. Kalo pulang, Ayah suka marah-marah. Ayah jahat. Bunda juga. Kalo Bunda di rumah gak mau denger Kania ngomong, gak mau dongengin Kania sebelum tidur, gak mau main sama Kania."
Agak terperanjat mendengarnya. Aku menghela napas panjang..... Jadi selama ini Kania merasa tertekan dengan perlakuan kedua orang tuanya. Astaghfirullah... kasihan Kania.
*****

Kuteguk sisa teh hijau hangat di cangkir. Sore begini biasanya Aku duduk di teras membaca buku atau browsing desain-desain busana di internet. Bersantai sejenak setelah menyelesaikan perkerjaan rumah sembari menunggu Vina dan Papanya pulang. Beberapa bunga di halaman nampak mekar...indah sekali. Memelihara berbagai tanaman hias merupakan kesenanganku yang lain. Memandang warna-warni bunga dan dedaunan sungguh semakin membuatku tak henti-hentinya memuji kebesaran Allah. Merawat taman kecil ini memberikan kehagiaan tersendiri. Bahagia itu datang dari hal-hal sederhana dan tak selalu dari sesuatu yang berharga mahal. Namun masih ada manusia yang tidak atau belum mampu menemukan kebahagiaan itu. Padahal Ia boleh jadi telah memiliki banyak harta bahkan memiliki segalanya. Itulah Kebahagiaan hakiki, yang tak semua manusia mampu menemukannya.

Kulirik rumah sebelah. Ada Kania sedang bermain di teras sendirian. Kami tinggal di perumahan dengan konsep tak berpagar sehingga antar tetangga masih mudah untuk saling bertemu dan silaturahim.
"Hai Kania...." panggilku, Aku berjalan menghampirinya. "Kania main apa?" Aku duduk berhadapan dengannya. Berbagai jenis boneka dan mainan nampak berserakan di lantai teras. Sedari tadi terlihat Ia berbincang-bincang dengan boneka panda besar berwarna putih hitam.
Sekilas Kania memandangku, "Main boneka, Tante..." jawabnya sambil memperlihatkan boneka pandanya.
"Kok Kania main sendirian?" tanyaku.
"Kania main sama Tasya..." sahutnya, kemudian kembali mengajak bicara bonekanya.
"Tasya? Siapa dia? Sekarang di mana?"
"Tuuhh....." katanya menunjuk ke arah samping kanan dengan dagunya. "Masa Tante gak lihat? Dia lagi mainin boneka kelincinya Kania."
Jantungku mulai berdegup lebih cepat... bukannya sedari tadi Kania sendirian?
Aku mencoba menenangkan diri. Belum reda kebingunganku, Kania berseru, "Tante...! Tadi Tasya bilang suka sama Tante... Tante mirip dengan Ibunya. Tasya sudah lama tidak ketemu Ibunya, Dia rindu sekali.... Katanya Tasya pengen tinggal di rumah Tante, boleh?"
Aku gelagapan.....



Makassar, 3 Februari 2020

Friday 29 March 2019

# Kisah
 
ZIARAH KE MASJID TUA KATANGKA 
DAN MAKAM SULTAN HASANUDDIN


Berziarah ke situs sejarah atau cagar budaya merupakan salah satu "ketertarikan" tersendiri bagi saya. Di mana saya bisa mempelajari dan mendapatkan hal-hal menarik, mendorong saya untuk lebih jauh menyimak cerita dibalik bangunan atau segala hal di tempat tersebut serta mengenal tokoh-tokoh yang melatarbelakangi "keberadaan" nya.

Di samping itu, atmosfer setiap cagar budaya semuanya memiliki keistimewaan, karakter khas, nuansa religius tersendiri dan aura spiritual yang unik. Melalui bangunan dan benda-benda di dalamnya, menjadi saksi perjalanan sejarah panjang pada masanya. Selalu tergelitik untuk menyelami lebih dalam.

Suatu siang menjelang sore yang cerah, usai menyelesaikan suatu keperluan, kami (Saya, suami dan anak kami Narayan) menuju sekolah anak kami -- Riri -- untuk menjemputnya. Melirik jam yang sudah memasuki waktu Shalat Ashar, kami singgah di Masjid Tua Katangka "Al Hilal" karena lokasinya berada sebelum sekolah Riri. Wah, suatu "kejutan" bagi saya...pikirku. Sebab sudah lama saya ingin mengunjungi masjid ini dan berziarah ke makam Sultan Hasanuddin yang berada tak jauh dari lokasi Masjid.

Usai menunaikan Shalat Ashar, saya berjalan mengitari lokasi Masjid bersama Narayan dan beberapa anak-anak di situ yang menawarkan mengantar kami berkeliling melihat-lihat sekitar.

Memasuki pekarangan Masjid, langsung nampak beberapa makam dan sisa dinding dari bangunan lampau yang masih berdiri. Terdapat pula beberapa makam dalam bangunan berbentuk "segitiga" bercat putih dan berpintu besi. Berjalan menyusuri sisi kanan pekarangan, akan terlihat areal pemakaman yang merupakan makam keluarga keturunan Raja Gowa. Areal ini masih bersambung hingga belakang lalu kiri masjid. Pada sisi kiri lokasi Masjid dari arah depan, terdapat gerbang masuk yang terdapat papan bertuliskan "Kompleks Makam Keluarga Keturunan Raja Gowa".

Dari pelataran Masjid memandang ke atas arah selatan, terlihat bendera merah putih berkibar dan atap mirip "kubah" berwarna emas, yang ternyata adalah bagian dari wilayah pemakaman Sultan Hasanuddin dan Raja-Raja Gowa. Wilayahnya berada sekitar beberapa puluh meter ke atas sehingga nampak jelas dari tempat saya berdiri. Untuk ke sana tentu menempuh jalan menanjak. Namun akses jalan yang layak untuk ke tempat itu sepertinya belum ada. Sayang sekali... kami harus memutar dengan kendaraan dari lokasi Masjid Al Hilal yang berada di Jalan Katangka, ke lokasi tersebut yang berada di Jalan Somba Opu (sekitar 1 kilometer).

Tiba di sana, pandangan disambut oleh gerbang megah pintu masuk kompleks makam Sultan Hasanuddin. Setelah memasuki gerbang terdapat pelataran cukup luas dan selasar atau "pendopo". Mungkin sebagai tempat beristirahat atau berteduh bagi pengunjung dari luar kota atau wisatawan. Sedangkan Kompleks pemakaman terletak pada sayap kiri selasar, dikelilingi pagar besi. Memasuki pintu pagar, terlihat berderet makam dalam "bangunan batu" tanpa cat dengan bentuk berundak. Rupanya itu merupakan makam Raja-Raja Gowa. Diantaranya adalah makam Sultan Hasanuddin, yang pada bagian atasnya terdapat pahatan gambar "Ayam Jantan" berwarna merah dan putih.

Terlihat pula suatu makam dalam "bangunan" bercat putih. Pada bagian depan di atas pintu masuk tertulis,"Sombangta I Tadji Barani Daeng Marompa Karaeng Data Tuni Batta", Raja Gowa XI. Beliau gugur di Medan Bakti dalam suatu pertempuran, setelah 20 hari penobatan sebagai Raja Gowa.

Kompleks pemakaman ini memang baru saja mengalami pemugaran sehingga semakin kelihatan sejuk dan indah walau nampaknya proses pemugaran masih berlangsung. Bagian belakang di luar pagar pemakaman terdapat taman dan beberapa gazebo, juga konstruksi besi yang di dalamnya dibangun semacam tugu berbentuk pedang tinggi menjulang. Pada dinding belakang bertuliskan "AREA SEJARAH KARAENG TA".

Dari pelataran belakang pemakaman ini saya bisa melihat bagian belakang Masjid Tua Katangka beserta "Kompleks Makam Keluarga Keturunan Raja Gowa" yang tadi kami kunjungi. Sejauh mata memandang terpampang panorama selatan kota Makassar. Semilir angin sore menemani keriangan Riri dan Narayan yang saling berkejaran. Mereka memang sering menemani saya dan sangat menikmati setiap kunjungan ke berbagai cagar budaya.

Cahaya matahari meredup, menandakan senja yang semakin bergulir. Kami pun beranjak pulang membawa cerita sore sebagai bagian dari menapak tilas sejarah Kerajaan Gowa. Kediaman kami tak terlalu jauh dari sini, sekitar lima kilometer. Tak begitu jauh dari pemukiman kami pula terdapat jejak sejarah Kerajaan Gowa lainnya yaitu "Benteng Somba Opu".

########

Sultan Hasanuddin lahir di Gowa (Sulawesi Selatan), tanggal 12 Januari 1631. Wafat di Gowa, 12 Juni 1670 pada usia 39 tahun. Sultan Hasanuddin adalah Raja Gowa ke-16 dan pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama "Muhammad Bakir I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape" sebagai nama pemberian dari Qadi Islam Kesultanan Gowa yakni Syekh Sayyid Jalaludin bin Ahmad Bafaqih Al-Aidid, seorang mursyid tarekat Baharunnur Baalwy Sulawesi Selatan yang juga adalah gurunya, termasuk guru tarekat dari Syeikh Yusuf Al-Makassari. Setelah menaiki Tahta, Ia digelar "Sultan Hasanuddin" dan setelah wafat diberi gelar "Tumenanga Ri Balla Pangkana". Karena keberaniannya, Ia dijuluki "De Haantjes van Het Osten" oleh Belanda yang artinya "Ayam Jantan dari Timur". Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden No. 087/TK/1973, tanggal 6 November 1973. (Sultan Hasanuddin, wikipedia)

Sultan Hasanuddin, merupakan putera dari Raja Gowa ke-15, I Manuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiyung Sultan Muhammad Said. Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowamulai tahun 1653 sampai 1669. Kerajaan Gowa adalah merupakan kerajaan besar di Wilayah Timur Indonesia yang menguasai jalur perdagangan. (Sultan Hasanuddin, wikipedia).


Mila Nurhayati
Foto-foto : Mila.N
Makassar 29 Maret 2019

























































Thursday 21 March 2019

# Kisah

PERCIKAN KEARIFAN LOKAL DARI JAZIRAH MANDAR



Coretan jejak seorang anak yang tengah beranjak remaja saat itu, di suatu dusun bernama Batulaya, terletak di Jazirah Mandar (Sulawesi Barat). Tumbuh dari keluarga dengan nuansa religius yang kental. Ba'du, demikian Ia disapa. Ia kerap menemani Sang Kakek ke berbagai acara tradisional maupun keagamaan. Beragam pertanyaan sering Ia lontarkan kepada Sang Kakek untuk memenuhi rasa keingintahuannya yang besar terhadap kehidupan.

Seperti pada suatu kesempatan yang amat Ia kenang, kala bercengkerama dengan Sang Kakek yang Ia panggil "Pua Rippung" itu, Ba'du kembali menghujani beliau dengan pertanyaan-pertanyaan. Diantara pertanyaan itu :
"Bagaimana seseorang itu mencintai dan dicintai?"
"Bagaimana cara agar memiliki keberanian?"
"Bagaimana cara mendapatkan rezeki?" dan sebagainya.
Kali ini Sang Kakek tidak menjawabnya.

Kemudian Pua Rippung berujar kepada Ba'du : "Ilmu untuk itu tidak ada... kecuali saya pesankan lima hal. Pesan ini bukan sembarang pesan. Pesan ini mengatasi semua ilmu dan inilah hakikat hidup yang sesungguhnya.

"E...Appo, dian lima passalan naupasanganoo matin. Da mupogaui appe pappogauan, anna pogaui mesa tokko gau. Iyamo :
dao melo disanga,
da to'o menggau losong,
da to'o merau akkeimangan,
anna da to'o mappogau gau iya namassussai tau laen.
Anna pappogauo panggauaniya malamasurun mappessannangngi atuotuoammu siola todialawemu anna makkasiwiang lao di Puang Allata'ala anna menggau mapia laodiparammu rupa tau."

(Artinya : Wahai cucuku, kupesankan padamu lima hal. Empat hal jangan kamu lakukan dan satu kamu harus melakukannya.
pertama : jangan kamu sombong,
kedua : jangan kamu berbuat kebohongan,
ketiga : jangan kamu meminta jabatan,
keempat : jangan kamu melakukan sesuatu yang merusak orang lain,
dan kelima : lakukan sesuatu yang dapat kamu nikmati dalam hidupmu bersama keluargamu dengan menyembah kepada Allah SWT dan berbuat baik kepada sesama manusia.)

*************************
Penulis : Mila Nurhayati

Sumber dan disadur dari :
"Sketsa Sebuah Kehidupan Anak Dusun", Autobiografi Abdul Rahman Halim.

Foto : Masjid Nurut Taubah-Imam Lapeo, Campalagian, Polewali-Mandar (Mei 2018)/Mila.N

Repost dari FB Mila Nurhayati, 20 Maret 2019.

#Refleksi 

CORETAN PENA SEORANG ISTRI DAN IBU




Bila seorang Ibu ceria, seisi rumah menjadi ceria
Bila seorang Ibu bahagia, seisi rumah menjadi bahagia

Kata orang...
Dibalik suami hebat, ada istri yang luar biasa
Dibalik anak hebat, ada Ibu yang luar biasa

Dibalik suami sholeh, ada istri sholehah
Di balik anak sholeh/sholehah, ada Ibu yang sholehah

Orang Bijak berkata...
"Ruh" suatu rumah ada pada Istri/Ibu

Bila seorang Ibu tertekan, bisa memengaruhi seisi rumah
Bila seorang Ibu merasa tidak nyaman, dapat dirasakan oleh penghuni rumah
Yang bisa pula memengaruhi suasana hati setiap penghuninya ketika beraktifitas di luar, juga dalam berkarya dan berprestasi.

Menyandang gelar seorang "Ibu" atau "Istri" harus diterima dengan senang hati, penuh suka cita, dan menjalaninya dengan riang gembira agar menularkan kedamaian ke segenap penjuru rumah.

Memang bukan perkara mudah, di tengah serbuan "perkara" lain yang hadir silih-berganti, selain harus menyelesaikan berbagai tugas dan tanggung jawab, bertahan dalam beragam situasi yang kadang "menguras" energi, serta berbagai situasi lainnya. Masih dituntut untuk tetap ceria? Tetap sejuk kala dilanda "kegerahan"?

Seorang Istri atau Ibu juga dituntut tegar, kuat dan tangguh dalam setiap kondisi yang dihadapinya. Di saat yang bersamaan, Ia harus dituntut untuk memiliki kesabaran yang luas, kasih sayang tanpa batas dalam mendidik dan membesarkan anak-anak, sebagai pendamping suami, pun sebagai anak bagi orang tuanya, juga peran dalam kekerabatan dan masyarakat.

Wahai para Suami, bahagiakan Istrimu...
Beri perhatian, pahami, dan jadikanlah sebagai partner yang baik dalam bekerja sama membangun Istanamu.
Perlakukanlah Ia sebagai "Ratu"
Maka engkau akan diperlakukannya sebagai "Raja"

Wahai para Suami, setialah pada Istrimu...
Istri yang telah bersedia dan mengikhlaskan diri serta hatinya untuk menjadi pendampingmu
Setia menemanimu kala senang dan kesulitan
Menerimamu dalam keadaan apa pun

Godaan bagi seorang suami maupun seorang istri mungkin akan dijumpai
Namun jika memperturutkan hawa nafsu, tak akan pernah ada akhirnya
Selalu ada alasan, selalu ada celah
Bila iman telah terkikis, segalanya melemah
Kesetiaan, komitmen, akhlaq, moral, nilai yang dianut perlahan luntur bahkan menghilang...

Seorang Suami yang berakhlaq mulia mengantarkan Istri dan anak-anaknya kepada kesholehan.
Seorang Suami yang penuh kasih sayang, mengantarkan keteduhan bagi keluarganya
Demikian pula,
Seorang Istri dan Ibu yang tenang hatinya mengantarkan ketenangan hati dan kesuksesan bagi Suami dan anak-anaknya

Perjalanan hidup di alam fana ini tidaklah lama...
Setiap insan telah dititipkanNya "peran" untuk dijalani
Laki-laki dan perempuan hanyalah "sebutan" saja
Setiap manusia akan mempertanggungjawabkan perannya masing-masing
Toh, di mata Allah semua sama
Yang membedakan adalah ketaqwaan
Dan pada tingkatan "maqam" mana Ia berada.




Mila Nurhayati
22 Maret 2019


 #REFLEKSI                                                                      PESANMU..... "Nak... Jauhilah prasangka buruk kepada si...